Senin, 29 Desember 2008

2009, BEBAN POLRI MAKIN BERAT



Sepanjang 2008, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mencatat banyak keberhasilan di bidang penegakan hukum serta perannya dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Berbagai kasus besar terungkap, mulai dari kasus pembalakan liar (illegal logging), illegal mining, penangkapan teroris, pemberantasan penyakit masyarakat (judi dan perdagangan manusia), hingga perang terhadap kejahatan jalanan (street crime) atau lebih dikenal operasi premanisme.

Meski banyak pelaku kejahatan ditangkap dan dijebloskan ke penjara, bukan berarti kondisi keamanan serta-merta cepat membaik. Apalagi krisis global yang meruyak pada akhir 2008, dan dampaknya lama dirasakan, menuntut korps berseragam cokelat itu tetap harus bekerja keras. Beban memelihara kamtibmas yang harus diimbangi menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), tentu bukan pekerjaan enteng.

Itu sebabnya pada pelantikan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Wahyono baru-baru ini Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri mewanti-wanti bahwa pada 2009 jajarannya agar terus meningkatkan kinerja. "Tantangan yang bakal dihadapi ke depan makin berat. Perkembangan krisis ekonomi telah berimplikasi pada stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat," kata Kapolri.
Pada gebrakan awal sejak dilantik menjadi Kapolri menggantikan Jenderal Pol Sutanto, Bambang Hendarso langsung menggeber operasi preman dan perjudian. Tindakan proaktif itu dilancarkan untuk menjawab keresahan masyarakat yang acap mengeluhkan tipisnya jaminan keamanan.
"Buat apa menangkap pelaku-pelaku teroris atau pun mengungkap jaringan narkoba, tapi keamanan di jalan nol. Preman masih leluasa memalak, menodong, dan mengganggu ketenangan masyarakat. Praktik premanisme ini harus diperangi," kata Kapolri, melalui Kabareskrim Komjen Pol Susno Djuadi.

Maka, sejak No-vember 2008 genderang perang melawan premanisme ditabuh untuk menekan angka kriminalitas. Awalnya, operasi preman digencarkan di Pulau Jawa dan Sumatera Utara yang dikenal kantong preman. Tapi pada perkembangan selanjutnya, operasi dilaksanakan di 31 wilayah polda.

Meski gebrakan polisi mulai terlihat hasilnya, dengan dikandangkan sekitar 10 ribu tersangka dan berbagai jenis senjata tajam (sajam) dan peralatan kejahatan disita, tidak sedikit kelompok masyarakat ataupun oknum aparat melawan. Contohnya yang terjadi pada kasus di PLTU, di Teluk Naga, Tangerang. Polisi menangkap sejumlah perangkat desa dan tokoh masyarakat karena dituduh mendalangi aksi perusakan fasilitas PLTU oleh massa.

Kejahatan jalanan dengan modus menodong dengan senjata api, dikhawatirkan masih marak pada tahun depan. Di tengah kesulitan ekonomi, kelompok kejahatan bersenjata api (senpi) makin tidak mengenal takut dalam memburu korbannya. Tak kurang terjadi delapan kasus kejahatan bersenpi sepanjang 2008.

Salah satunya, kasus yang menimpa Siswanto, karyawan PT Dwi Putra Perkasa, Sabtu (20/12). Dia dirampok di siang bolong saat hendak mengantar uang perusahaan sebesar Rp 850 juta di Jalan Raya Hankam, Pondok Gede, Bekasi. Meski polisi menyayangkan karena banyak korban tidak minta pengawalan aparat, tak pelak tawaran polisi ini masih kurang diminati.

Mutilasi

Kasus pembunuhan juga menjadi prioritas penanganan karena menyangkut masalah penghilangan nyawa orang. Pada 2008, peristiwa yang menyedot perhatian masyarakat yaitu yang dilakukan oleh Verry Idham Hendriansyah alias Ryan. Tersangka yang dijuluki tukang jagal dari Jombang itu menghabisi nyawa 11 orang. Salah satunya pembunuhan disertai mutilasi (dipotong-potong) yang menimpa Heri Santoso, yang kemudian kasusnya membongkar aksi busuk Ryan.

Laki-laki yang sehari-hari sales perusahaan baja di Cikarang, Bekasi, itu ditemukan mayatnya dalam koper (12/7) di Ragunan, Jakarta Selatan. Penyelidikan polisi menunjukkan, Heri dibunuh oleh pasangannya, Ryan, di Apartemen Margonda, Depok, karena pemuda itu tersinggung karena Heri hendak memacari Noval (27), pacarnya. Ternyata, terungkapnya kasus ini memberikan petunjuk bahwa Ryan juga melakukan pembunuhan terhadap 10 orang yang jenazahnya dimakamkan di rumahnya, Jombang, Jawa Timur.

Korban lain Ryan yaitu Gradi Adam (mantan finalis VJ MTV), Vienct Yudhy Priyono (30), Guruh Setyo Pramono (30), Agustinus F Setiawan (29), Nanik Hidayati (31) dan putrinya, Sylvia Ramadani Putri (3), Aril Somba Sitanggang (34), Mokh Ansoni alias Soni (39), dan Zainal Abidin alias Zaki. Dalam kasus ini, Noval juga dijadikan tersangka karena dianggap menggunakan barang dari hasil kejahatan.

Selama 2008 tak kurang ditemukan 6 kasus pembunuhan disertai mutilasi. Sebagian masih misterius, dan sebagian lagi terungkap karena identitas korbannya diketahui. Seperti kasus yang ditemukan di Bus Mayasari Bakti P-76 (29/11), di mana akhirnya terungkap bahwa tersangka ternyata istrinya sendiri.

Kasus illegal logging selalu menjadi prioritas penanganan sejak Kapolri Da'i Bachtiar, Sutanto dan kemudian diteruskan oleh Bambang Hendarso Danuri. Ini mengingat kerugian negara sangat besar. Pada 2008, kasus menonjol terjadi di wilayah Ketapang, Kalimantan Barat, dengan melibatkan banyak pejabat. Pembalakan liar di Ketapang diduga merugikan negara triliunan rupiah setiap tahun, dan para pejabat kepolisian di situ ditengarai melakukan pembiaran. Selain Polri, tak kurang 26 orang dijadikan tersangka, mulai dari pejabat Dinas Kehutanan, cukong hingga petugas di lapangan.

Catatan pemberantasan teroris di sepanjang 2008 membuahkan hasil cukup signifikan meski gembong Noordin M Top tetap belum tertangkap. Salah satunya, penangkapan kelompok Plumpang yang menargetkan hendak meledakkan Depo Pertamina Plumpang dan kelompok Palembang. (Sadono Priyo)

IBARAT PENJUAL RUJAK TANPA PISAU


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) konon merasa terganggu oleh aksi unjuk rasa yang menggunakan pengeras suara (sound-system) di depan Istana Merdeka. Kemudian, berdasarkan UU No 9/1998, Presiden SBY kemudian memerintahkan Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri agar melarang aksi demo yang menggunakan pengeras suara.

Untuk mengetahui lebih jauh hal itu, benarkah Presiden SBY terganggu hanya karena pengeras suara yang dipakai pendemo, atau ada hal lain yang lebih substansial yang merisaukan Presiden SBY, berikut petikan sebagian percakapan wartawan Suara Karya Bambang Soepatah dan Sadono Priyo serta fotografer Hedi Suryono dengan pendiri Indonesian Democracy Monitor (InDEMO) dr Hariman Siregar. Berikut wawancara lengkapnya.

Perintah SBY kepada Kapolri didasari UU No 9 Tahun 1998. Komentar Bung?

Undang-Undang No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum tidak mengatur larangan menggunakan pengeras suara saat berunjuk rasa.
Kalau Polri diminta merampas pengeras suara dari pendemo, ini suatu kemunduran. Dalam menjalankan tugasnya, Polri mestinya tidak bisa diintervensi oleh kekuatan mana pun, termasuk presiden.
Dasar hukum polisi di lapangan maupun saat melaksanakan tugas adalah undang-undang dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Saat terjadi demo, tugas polisi adalah mengamankan kegiatan unjuk rasa agar tidak menimbulkan aksi anarkis atau huru-hara, bukan malah diminta merampas peralatan yang dibawa pelaku demo.
Aksi demo sangat mungkin akan terus berlanjut jika suara rakyat tidak didengar. Sikap polisi brutal hanya akan mendorong masyarakat bersikap brutal, dengan segala manifestasinya.

Jadi, soal penertiban pendemo yang menggunakan pengeras suara?

Pengeras suara itu ibarat pisau bagi penjual rujak. Bagaimana orang mau beli rujaknya kalau dia tidak punya alat potong buahnya.

Maksud Anda?

Ya, bagaimana orang mau mendengar apa yang dia (pendemo) kemukakan, kalau dia bicara di jalanan yang bising dengan suara kendaraan, tanpa pengeras suara.
Seharusnya Kapolri tidak perlu membuat statement seperti itu. Kalau itu dilaksanakan, polisi di lapangan akan jadi "korban".
Instruksi yang salah bisa saja dijabarkan secara sewenang-wenang di lapangan. Polisi nanti bisa dengan seenaknya merampas peralatan yang dibawa pendemo. Ini berbahaya.
Tak usah buang-buang waktu-lah, masa gara-gara presiden "marah", aparat di bawahnya (Kapolri) ikut-ikutan emosional.
Contohnya kejadian demo di Yogya, di Makassar, dan lain-lain. Kalau sudah begini, banyak pihak pasti akan menyalahkan polisi. Artinya, polisi kan jadi korban. Padahal mereka hanya menjabarkan instruksi pimpinan.

Soal SBY "marah-marah"?

Ya, saya heran, kenapa SBY "terganggu" dengan suara pengeras suara. Mungkin dia (SBY) lagi stress. Kita memang sedang menghadapi situasi politik yang makin panas, terkait dengan Pemilihan Umum (Pemilu) 2007. Dia (SBY) mungkin lupa posisinya sebagai presiden, pemimpin bangsa ini. Dia lupa posisinya sebagai the person of the people.
Sebagai pemimpin, mestinya dia bersikap bijaksana, mesti tahan emosi. Dalam menghadapi situasi politik yang makin panas, kita butuh sikap kepemimpinan yang cooling down, tidak membangkitkan emosi rakyat.
Tapi, memang, nation state kita belum jadi. Ini pekerjaan rumah (PR) kita sebagai bangsa ke depan.

Anda yakin SBY terganggu dengan persoalan pengeras suara?

Ah, saya kira tidak. Substansi yang disampaikan kepada pendemo-dengan berbagai masalah nasional yang mereka sampaikan-itu yang dia mungkin tidak suka.
Masyarakat, apakah mereka itu buruh, mahasiswa, atau rakyat biasa, punya hak untuk menyampaikan pendapatnya, punya hak untuk menyampaikan keluhannya kepada para pemimpinnya.
SBY itu presiden yang dipilih rakyat. Itu, karena janji-janjinya untuk melakukan perubahan, pada waktu kampanye.
Kalau nyatanya hidup makin susah-beras mahal, untuk mendapatkan minyak tanah mesti ngantre, sementara gas elpiji langka-wajar, dong, kalau rakyat menagih janji melalui aksi demo.
Sekarang kita sedang dihadapkan pada krisis finansial global. Pemerintah harus serius menghadapi hal itu, jangan hanya sebatas wacana. Rakyat menunggu perbaikan: roda perekonomian harus berjalan, lapangan pekerjaan harus diciptakan, kebutuhan sandang, pangan, dan papan harus terpenuhi.

Mungkin SBY merasa apa yang disampaikan para pendemo tidak benar?

Ah, tidak benar bagaimana? Nyatanya harga kebutuhan pokok makin mahal. Beras mahal, pupuk mahal dan langka.
Yang sangat bikin kecewa masyarakat, itu tadi: dulu masyarakat diminta pakai gas, katanya lebih ekonomis. Tapi, setelah masyarakat pakai gas, kini gas langka. Kalau ada, harganya mulai naik.
Celakanya, minyak tanah sulit didapat. Kalau ada, harganya Rp 10.000 per liter. Saya sungguh nggak mengerti, bagaimana nalar para pemimpin kita itu.
Lihat saja itu berita di TV: ibu-ibu dengan polosnya mengeluhkan masalah kelangkaan gas elpiji dan mahalnya minyak tanah. Apa para pemimpin kita itu tidak mendengar jeritan rakyatnya.

Jadi, soal pengeras suara tadi?

Sudah teriak-teriak pakai pengeras suara saja tidak didengar, apalagi nggak pakai pengeras suara. Bicara di jalanan tidak pakai pengeras suara, siapa yang mau dengar? Itu sama saja dengan tukang tambal ban di pinggir jalan yang tidak punya pompa, bagaimana mau mengisi angin.
Orang demo pakai pengeras suara kok dilarang, yang bener sajalah. Seorang presiden yang terganggu karena aksi demo pakai pengeras suara itu merupakan absurditas.
Masalah yang disampaikan oleh para pendemo?
Lho, kan seputar itu-itu juga. Paling-paling menuntut kenaikan upah buruh, masalah karyawan kontrak, dan masalah yang menyangkut isi perut.

Jadi?

Ya, SBY mesti mau menghargai perbedaan pendapat yang ada di masyarakat, termasuk yang disampaikan lewat aksi demo. Sikap SBY melarang orang berdemo pakai pengeras suara itu bisa menimbulkan kesan SBY tidak tahu demokrasi. Sikap seperti itu secara politik bisa merugikan SBY sendiri.
Lihat itu Barack Obama, dia bilang, buruh-buruh yang menduduki perusahaan itu sah-sah saja.

Dampak dari sikap itu?

Itu tadi, akibat "provokasi" itu, polisi di lapangan yang jadi korban. "Provokasi" itu bisa menyebabkan polisi semakin brutal terhadap orang-orang yang melakukan aksi demo. Satuan pengamanan (satpam) pun bisa juga ikut brutal terhadap para pendemo.
Lihat saja itu di TV: para mahasiswa dan mahasiswi yang menentang disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) menjadi undang-undang, di ruang sidang DPR, diperlakukan sangat kasar.

Apa artinya itu semua?

Mari kita belajar untuk saling menghargai perbedaan pendapat.***

Kamis, 25 Desember 2008

AWAS, 3.000 SENPI TAK DIKETAHUI KEBERADAANNYA

Sedikitnya 3.000 pucuk senjata api nonorganik masih beredar di masyarakat. Padahal, sesuai instruksi Kepala Polri (Kapolri), senjata-senjata yang dimiliki warga sipil itu harus dititipkan ke kepolisian setempat.

"Berdasarkan Surat Perintah Kapolri Nomor 117/8/2005, warga sipil yang mempunyai izin memiliki senjata api wajib menitipkannya ke polda atau kepolisian setempat," kata Wakapolda Metro Jaya Brigjen Pol Jassir Karwita kepada wartawan di Mapolda, Selasa.

Pernyataan Wakapolda itu terkait dengan kabar yang menyebutkan bahwa para ketua RW, khususnya yang wilayahnya berada di daerah rawan kejahatan, akan dibekali senjata api nonorganik untuk kepentingan pengamanan wilayah atau bela diri.

Pihaknya mengimbau warga yang belum menitipkan segera menitipkannya ke polda atau ke kepolisian setempat. Bagi yang membandel, mereka bisa dijerat UU Darurat Tahun 1951 tentang Senjata Api dengan ancaman hukuman 20 tahun.

Wakapolda menyebutkan, izin senjata api yang dikeluarkan Polda Metro Jaya jumlahnya sekitar 5.000 pucuk. Setelah ada Surat Kapolri Nomor 117/8/2005, ada sekitar 40 persen (2.000 pucuk) pemegang izin yang menitipkan ke polda.

Dengan begitu, masih ada sekitar 3.000 pucuk yang tidak diketahui rimbanya. Alasan masih banyaknya senpi yang belum dititipkan adalah polda kesulitan mencari pemegang izin, mengingat ada yang pindah domisili atau belum memperpanjang izin karena alasan tertentu.

"Sejak surat perintah Kapolri turun, kami terus menyosialisasikan hal ini. Karena itu, semua pihak wajib mematuhi. Bagi yang tidak menitipkan atau memperpanjang izin, ancaman pidana siap menanti," kata dia.

Sesuai ketentuan, jenis senjata yang diizinkan digunakan warga sipil merupakan senjata nonorganik, baik berupa senjata api, pistol karet, maupun pistol gas. Mereka yang diizinkan memiliki senpi telah memenuhi ketentuan standar, yakni melalui seleksi, tes psikologi, dan sejenisnya.

Selain itu, juga ada pejabat-pejabat tertentu (sipil) yang diizinkan menggunakan senpi, misalnya Dirut BUMN, pejabat Bea Cukai, kejaksaan, dan Imigrasi. Sedangkan untuk petugas sekuriti, Satpol PP atau atlet menembak, izin penggunaannya dibatasi di area tertentu.

Pihak Polda juga menegaskan, tak ada perubahan kebijakan terhadap kepemilikan dan penggunaan senjata api nonorganik untuk bela diri yang dimiliki warga sipil.
Kebijakan kepemilikan dan penggunaan senjata api untuk warga sipil masih berpedoman pada Skep Kapolri Nomor 82/2004 yang dikeluarkan pada 16 Februari 2004 tentang perizinan dan syarat-syarat penggunaan senjata api.

"Polda Metro Jaya tidak mempunyai kebijakan sendiri. Apalagi, untuk memberikan izin senjata api seperti pada RW atau lainnya," kata mantan Direktur Intelkam Polda Metro Jaya itu.
Lebih jauh Jassir mengatakan, surat izin bisa diperpanjang, tapi senjata dititipkan. Tidak ada lagi izin kepemilikan senjata baru bagi sipil untuk membela diri. Ini mengingat banyak kejadian menyalahgunakan senjata api oleh warga sipil.

Berbagai kasus penyalahgunaan senjata api sudah sering terjadi. Selama tahun 2008, tidak kurang terjadi delapan kasus kejahatan bersenpi.
Misalnya, kasus perampokan terhadap nasabah HSBC di Jalan Muara Karang, Jakut. Korban Tatang Wiryadinata yang hendak menyetor uang perusahaan dirampok kelompok bersenpi. Uang sebanyak Rp 200 juta berbentuk dolar AS dan rupiah raib dibawa kabur kawanan.

Penyalahgunaan senpi juga acap terjadi untuk menakut-nakuti korban. Menjawab hal itu, Wakapolda mengatakan, umumnya senpi yang digunakan untuk kejahatan berjenis rakitan dan bukan nonorganik. Sedangkan yang untuk menakut-nakuti, izinnya ilegal atau sudah kedaluwarsa. (Sadono)

Selasa, 23 Desember 2008

BANYAK WARGA BANDUNG BELUM SADAR BENCANA


Siapa yang tak kenal Bandung? Ibu kota Jawa Barat yang dikenal dengan sebutan "Paris van Java" itu merupakan kota wisata yang sekaligus surga belanja. Tak hanya itu, Bandung juga menjadi tempat berkumpulnya para ilmuwan, mahasiswa, serta seniman yang ingin mencari inspirasi.
Sebenarnya pesona Bandung lebih dari itu. Deretan gunung di sekelilingnya menyajikan keindahan alam serta perbukitan di situ menyimpan sejarah geologis yang tiada ternilai.

Tapi, siapa yang mengira di balik semua pesona dan potensinya, Bandung berada di daerah yang rawan bencana. Kebanyakan masyarakat juga tidak tahu bahwa musibah besar-seperti gempa bumi, longsor, dan banjir-bisa mengancam sewaktu-waktu.

Setidaknya permasalahan itu mengemuka dalam workshop geosains untuk wartawan bertema "Selamatkan Cekungan Bandung" di Lembang pada 5-6 Desember 2008. Workshop yang dibuka Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (IPK LIPI), Dr Ir Hery Harijono, itu dalam rangka Tahun Internasional Planet Bumi 2008.

"Tugas kita sebagai ilmuwan dan media massa, mengingatkan terus masyarakat bahwa kita hidup di daerah rawan bencana. Jangan tidak peduli," kata Herry.

Sesar Lembang

Dr Ir Eko Yulianto dan Dr Ir Budi Brahmantyo dari Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) menyebutkan, terkait dengan musibah gempa, Bandung berada di dekat patahan (sesar) yang disebut Sesar Lembang. Sesar Lembang sendiri masih aktif akibat adanya aktivitas pertemuan lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Malah, sesar yang bisa dilihat di dekat perumahan mewah Graha Puspa Lembang itu berpotensi menimbulkan gempa berkekuatan 6,9 SR.

Kedua ilmuwan itu menyayangkan makin maraknya pembangunan perumahan di Bandung Utara. "Saya juga tidak tahu mengapa begitu gampangnya dikeluarkan izin untuk membangun perumahan. Apalagi, banyak rumah yang dirancang tanpa memperhitungkan dampak bencana (tahan gempa)," kata Budi Brahmantyo seraya menambahkan bahwa masyarakat harus merekonstruksi rumahnya dengan bangunan tahan gempa.

Karst Citatah

Kawasan lain yang tidak terlindungi adalah Karst Citatah. Perbukitan kapur yang membentang di Padalarang itu kini kian rusak dan cenderung diabaikan. Padahal, perbukitan itu mengandung nilai sejarah yang luar biasa dan merupakan laboratorium terbuka baik bagi mahasiswa maupun peneliti yang mempelajari ilmu kebumian.

Sudah puluhan tahun kawasan itu dipilih untuk industri penambangan kapur ketimbang disisakan ruang untuk kawasan lindung. Masyarakat, khususnya pengusaha, memandangnya sebagai komoditas yang menghasilkan keuntungan miliaran rupiah tiap tahun (sementara untuk pendapatan asli daerah hanya Rp 300 juta). Kalau menyusuri formasi perbukitan di sana, khususnya di Km 12 - Km 27 antara Cianjur dan Bandung, bukit-bukit tidak pernah ada yang utuh.

"Banyak sesepuh yang menutup mata. Mereka tidak tega melihat alam yang ketika mereka muda begitu indah, sekarang menjadi bukit yang terpotong-potong menunggu kehancuran," kata Budi Brahmantyo.
Gunung-gunung di sekitar cekungan juga merana karena hutan di lereng-lereng gunung telah dibabat habis untuk daerah pertanian dan perumahan. Akibatnya, daerah resapan air menyusut dan membuat pasok air ke tanah dan pasokan ke sungai turun drastis. Sungguh ironis jika Cekungan Bandung yang dahulu kaya air itu dalam waktu dekat menghadapi masalah kesulitan air.

"Seharusnya penghancuran bukit itu dihentikan. Ancaman yang nantinya dihadapi selain tanah longsor adalah bahaya bagi kesehatan (ginjal dan ispa). KRCB sudah menyurati Pemkab Bandung Barat agar menghentikan dulu penambangan di situ sampai adanya perda mengenai tata ruang," kata Eko Yulianto.

Sekitar delapan tahun lalu ditemukan benda-benda prasejarah untuk pertama kali di Goa Pawon, Pasir Pawon, Karst Citatah, antara lain berupa alat-alat batu dan tulang, gerabah, sisa tulang, gigi binatang, serta kerangka utuh homo sapiens. Kendati penambangan sudah tak sehebat dulu, di kawasan itu masih saja dilakukan penggalian.
Sedangkan kaitannya dengan banjir, penanganannya juga karut marut. Salah satunya upaya pemapasan Curug Jompong (air terjun) yang kembali mengemuka. Ini menunjukkan bahwa Pemprov Jabar
kelihatan telah kehabisan akal.

KRCB mengingatkan bahwa pemapasan tidak menyelesaikan masalah. "Pemapasan Curug Jompong yang telah diwacanakan sejak tahun 2006 harus dikaji lebih dalam. Selain erosi vertikal, pemapasan juga mengancam pasok kelistrikan untuk Jawa dan Bali mengingat tanah yang terbawa oleh sungai level akan terbawa ke Waduk Saguling, yang merupakan salah satu pembangkit listrik terbesar di Jawa. (Sadono Priyo)

KAPOLDA USUNG POLICING WITH LOVE


SEMARANG (Don-News) : Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Alex Bambang Triatmodjo menegaskan, untuk menjabarkan program akselerasi yang lebih mencitrakan sebagaipolisi yang humanis dan tegas, pihaknya siap mengedepankan polisi cinta kasih (policing with love).

"Sebagai wujud transformasi Polri modern dan profesional sebagaimana yang didengung-dengnungkan Kapolri, saya siap mengedepankan dan menyosialisikan ke seluruh jajaran kepolisian untuk membangun polisi cinta kasih," kata Alex Bambang Riatmodjo saat pisah sambut Kapolda, Jumat malam, di Semarang.

Spanduk-spanduk bertuliskan "Policing with Love" ikut memeriahkan acara penyambutan Kapolda baru yang sebelumnya menjabat Kepala Divisi Telematika Polri itu. Alex Bambang juga pernah menduduki Kapolresta Surabaya Selatan, Kapolres Metro Bekasi, Kaditserse Polda Metro Jaya, Kapolwiltabes Bandung, dan sejumlah jabatan di Mabes Polri hingga menduduki salah satu Deputi pada Kementrian Koordinasi Bidang Polkam Kabinet Indonesia Bersatu.

Lebih lanjut priya kelahiran Kediri 17 Juli 1955 itu mengatakan, sesuai dengan kultur masyarakat di Jawa, pihaknya berusaha untuk ngayahi tugas polisi kanthi katresnan atau melakukan tugas polisi dengan cinta kasih. Untuk melakukan program-programnya tersebut, kata Alex, pihaknya tidak akan meninggalkan adat dan budaya sudah terbentuk di mana masyarakatnya terkenal dengan kelemah-lembutan, sabar dan rendah hati.
"Saya sendiri yang biasa meledak-ledak kalau sedang tugas di lapangan, harus belajar sabar, lembah lembut dan redah hati. Saya juga tekankan pada seluruh jajaran kepolisian untuk senantiasa menyesuaikan kearifan lokal masyarakat Jawa itu," katanya.
Acara yang digelar di ruang Poncowati Hotel Patra Semarang itu juga dihadiri Wagub Jateng Rustriningsih dan jajaran Muspida Jateng, Kapolda lama Irjen FX Soenarno yang kini Deputi Bidang Koordinasi dan Informasi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, tokoh-tokoh ulama dan seluruh pejabat polda serta seluruh kapolres di Jateng.
Karier Kapolda baru ini memang tergolong menonjol, tapi juga sempat lama tenggelam. Sejak lulus Akabri tahun 1977, ia ditempatkan pertama kali di Ambon, Maluku. Di situ ia sempat kuliah di Universitas Patimura dan menikahi kakak kelasnya Betty T Atmodjo. Bapak tiga orang anak itu kemudian melanjutkan di perguruan Tinggi Ilmu Kepolsian (PTIK) (1996). Lulus Sespim Polri (1994) dan di Lemhanas memperoleh penghargaan Wibawa Seroja Nugraha dari Gubernur Lemhanas RI sebagai lulusan terbaik tahun 2001.

Setelah menduduki berbagai jabatan komando di Polri, nama Alex sempat menghilang. Ia ditempatkan di Kapus Represif Badan Narkotika Nasional (BNN), Staf Ahli Kapolri dan Deputi pada Kementrian Koordinasi Bidang Polkam. Pada Maret 2008, Kapolri Sutanto menugaskan dia di Mabes Polri kembali, yaitu sebagai Kadiv Telematika dan Kapolri sekarang Bambang Hendarso Danuri menugaskan di Jawa Tengah.

Berbagai kasus besar sempat diungkap. Saat menjabat Kepala Reserse Bidang Pembunuhan di Mabes Polri, ia pernah membongkar kasus pembunuhan yang didalangi Kaditserse Polda Maluku di Ambon. Saat menjabat Kapolwiltabes Bandung, pihaknya berhasil menangkap tersangka pelaku peledakan Bursa Efek Jakarta. Ia juga paling ditakuti kalangan pengedar gelap narkoba tahun 2000, di mana banyak melibatkan warga negara asing berkulit hitam. (Sadono Priyo)

Minggu, 14 Desember 2008