Senin, 29 Desember 2008

2009, BEBAN POLRI MAKIN BERAT



Sepanjang 2008, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mencatat banyak keberhasilan di bidang penegakan hukum serta perannya dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Berbagai kasus besar terungkap, mulai dari kasus pembalakan liar (illegal logging), illegal mining, penangkapan teroris, pemberantasan penyakit masyarakat (judi dan perdagangan manusia), hingga perang terhadap kejahatan jalanan (street crime) atau lebih dikenal operasi premanisme.

Meski banyak pelaku kejahatan ditangkap dan dijebloskan ke penjara, bukan berarti kondisi keamanan serta-merta cepat membaik. Apalagi krisis global yang meruyak pada akhir 2008, dan dampaknya lama dirasakan, menuntut korps berseragam cokelat itu tetap harus bekerja keras. Beban memelihara kamtibmas yang harus diimbangi menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), tentu bukan pekerjaan enteng.

Itu sebabnya pada pelantikan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Wahyono baru-baru ini Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri mewanti-wanti bahwa pada 2009 jajarannya agar terus meningkatkan kinerja. "Tantangan yang bakal dihadapi ke depan makin berat. Perkembangan krisis ekonomi telah berimplikasi pada stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat," kata Kapolri.
Pada gebrakan awal sejak dilantik menjadi Kapolri menggantikan Jenderal Pol Sutanto, Bambang Hendarso langsung menggeber operasi preman dan perjudian. Tindakan proaktif itu dilancarkan untuk menjawab keresahan masyarakat yang acap mengeluhkan tipisnya jaminan keamanan.
"Buat apa menangkap pelaku-pelaku teroris atau pun mengungkap jaringan narkoba, tapi keamanan di jalan nol. Preman masih leluasa memalak, menodong, dan mengganggu ketenangan masyarakat. Praktik premanisme ini harus diperangi," kata Kapolri, melalui Kabareskrim Komjen Pol Susno Djuadi.

Maka, sejak No-vember 2008 genderang perang melawan premanisme ditabuh untuk menekan angka kriminalitas. Awalnya, operasi preman digencarkan di Pulau Jawa dan Sumatera Utara yang dikenal kantong preman. Tapi pada perkembangan selanjutnya, operasi dilaksanakan di 31 wilayah polda.

Meski gebrakan polisi mulai terlihat hasilnya, dengan dikandangkan sekitar 10 ribu tersangka dan berbagai jenis senjata tajam (sajam) dan peralatan kejahatan disita, tidak sedikit kelompok masyarakat ataupun oknum aparat melawan. Contohnya yang terjadi pada kasus di PLTU, di Teluk Naga, Tangerang. Polisi menangkap sejumlah perangkat desa dan tokoh masyarakat karena dituduh mendalangi aksi perusakan fasilitas PLTU oleh massa.

Kejahatan jalanan dengan modus menodong dengan senjata api, dikhawatirkan masih marak pada tahun depan. Di tengah kesulitan ekonomi, kelompok kejahatan bersenjata api (senpi) makin tidak mengenal takut dalam memburu korbannya. Tak kurang terjadi delapan kasus kejahatan bersenpi sepanjang 2008.

Salah satunya, kasus yang menimpa Siswanto, karyawan PT Dwi Putra Perkasa, Sabtu (20/12). Dia dirampok di siang bolong saat hendak mengantar uang perusahaan sebesar Rp 850 juta di Jalan Raya Hankam, Pondok Gede, Bekasi. Meski polisi menyayangkan karena banyak korban tidak minta pengawalan aparat, tak pelak tawaran polisi ini masih kurang diminati.

Mutilasi

Kasus pembunuhan juga menjadi prioritas penanganan karena menyangkut masalah penghilangan nyawa orang. Pada 2008, peristiwa yang menyedot perhatian masyarakat yaitu yang dilakukan oleh Verry Idham Hendriansyah alias Ryan. Tersangka yang dijuluki tukang jagal dari Jombang itu menghabisi nyawa 11 orang. Salah satunya pembunuhan disertai mutilasi (dipotong-potong) yang menimpa Heri Santoso, yang kemudian kasusnya membongkar aksi busuk Ryan.

Laki-laki yang sehari-hari sales perusahaan baja di Cikarang, Bekasi, itu ditemukan mayatnya dalam koper (12/7) di Ragunan, Jakarta Selatan. Penyelidikan polisi menunjukkan, Heri dibunuh oleh pasangannya, Ryan, di Apartemen Margonda, Depok, karena pemuda itu tersinggung karena Heri hendak memacari Noval (27), pacarnya. Ternyata, terungkapnya kasus ini memberikan petunjuk bahwa Ryan juga melakukan pembunuhan terhadap 10 orang yang jenazahnya dimakamkan di rumahnya, Jombang, Jawa Timur.

Korban lain Ryan yaitu Gradi Adam (mantan finalis VJ MTV), Vienct Yudhy Priyono (30), Guruh Setyo Pramono (30), Agustinus F Setiawan (29), Nanik Hidayati (31) dan putrinya, Sylvia Ramadani Putri (3), Aril Somba Sitanggang (34), Mokh Ansoni alias Soni (39), dan Zainal Abidin alias Zaki. Dalam kasus ini, Noval juga dijadikan tersangka karena dianggap menggunakan barang dari hasil kejahatan.

Selama 2008 tak kurang ditemukan 6 kasus pembunuhan disertai mutilasi. Sebagian masih misterius, dan sebagian lagi terungkap karena identitas korbannya diketahui. Seperti kasus yang ditemukan di Bus Mayasari Bakti P-76 (29/11), di mana akhirnya terungkap bahwa tersangka ternyata istrinya sendiri.

Kasus illegal logging selalu menjadi prioritas penanganan sejak Kapolri Da'i Bachtiar, Sutanto dan kemudian diteruskan oleh Bambang Hendarso Danuri. Ini mengingat kerugian negara sangat besar. Pada 2008, kasus menonjol terjadi di wilayah Ketapang, Kalimantan Barat, dengan melibatkan banyak pejabat. Pembalakan liar di Ketapang diduga merugikan negara triliunan rupiah setiap tahun, dan para pejabat kepolisian di situ ditengarai melakukan pembiaran. Selain Polri, tak kurang 26 orang dijadikan tersangka, mulai dari pejabat Dinas Kehutanan, cukong hingga petugas di lapangan.

Catatan pemberantasan teroris di sepanjang 2008 membuahkan hasil cukup signifikan meski gembong Noordin M Top tetap belum tertangkap. Salah satunya, penangkapan kelompok Plumpang yang menargetkan hendak meledakkan Depo Pertamina Plumpang dan kelompok Palembang. (Sadono Priyo)

IBARAT PENJUAL RUJAK TANPA PISAU


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) konon merasa terganggu oleh aksi unjuk rasa yang menggunakan pengeras suara (sound-system) di depan Istana Merdeka. Kemudian, berdasarkan UU No 9/1998, Presiden SBY kemudian memerintahkan Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri agar melarang aksi demo yang menggunakan pengeras suara.

Untuk mengetahui lebih jauh hal itu, benarkah Presiden SBY terganggu hanya karena pengeras suara yang dipakai pendemo, atau ada hal lain yang lebih substansial yang merisaukan Presiden SBY, berikut petikan sebagian percakapan wartawan Suara Karya Bambang Soepatah dan Sadono Priyo serta fotografer Hedi Suryono dengan pendiri Indonesian Democracy Monitor (InDEMO) dr Hariman Siregar. Berikut wawancara lengkapnya.

Perintah SBY kepada Kapolri didasari UU No 9 Tahun 1998. Komentar Bung?

Undang-Undang No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum tidak mengatur larangan menggunakan pengeras suara saat berunjuk rasa.
Kalau Polri diminta merampas pengeras suara dari pendemo, ini suatu kemunduran. Dalam menjalankan tugasnya, Polri mestinya tidak bisa diintervensi oleh kekuatan mana pun, termasuk presiden.
Dasar hukum polisi di lapangan maupun saat melaksanakan tugas adalah undang-undang dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Saat terjadi demo, tugas polisi adalah mengamankan kegiatan unjuk rasa agar tidak menimbulkan aksi anarkis atau huru-hara, bukan malah diminta merampas peralatan yang dibawa pelaku demo.
Aksi demo sangat mungkin akan terus berlanjut jika suara rakyat tidak didengar. Sikap polisi brutal hanya akan mendorong masyarakat bersikap brutal, dengan segala manifestasinya.

Jadi, soal penertiban pendemo yang menggunakan pengeras suara?

Pengeras suara itu ibarat pisau bagi penjual rujak. Bagaimana orang mau beli rujaknya kalau dia tidak punya alat potong buahnya.

Maksud Anda?

Ya, bagaimana orang mau mendengar apa yang dia (pendemo) kemukakan, kalau dia bicara di jalanan yang bising dengan suara kendaraan, tanpa pengeras suara.
Seharusnya Kapolri tidak perlu membuat statement seperti itu. Kalau itu dilaksanakan, polisi di lapangan akan jadi "korban".
Instruksi yang salah bisa saja dijabarkan secara sewenang-wenang di lapangan. Polisi nanti bisa dengan seenaknya merampas peralatan yang dibawa pendemo. Ini berbahaya.
Tak usah buang-buang waktu-lah, masa gara-gara presiden "marah", aparat di bawahnya (Kapolri) ikut-ikutan emosional.
Contohnya kejadian demo di Yogya, di Makassar, dan lain-lain. Kalau sudah begini, banyak pihak pasti akan menyalahkan polisi. Artinya, polisi kan jadi korban. Padahal mereka hanya menjabarkan instruksi pimpinan.

Soal SBY "marah-marah"?

Ya, saya heran, kenapa SBY "terganggu" dengan suara pengeras suara. Mungkin dia (SBY) lagi stress. Kita memang sedang menghadapi situasi politik yang makin panas, terkait dengan Pemilihan Umum (Pemilu) 2007. Dia (SBY) mungkin lupa posisinya sebagai presiden, pemimpin bangsa ini. Dia lupa posisinya sebagai the person of the people.
Sebagai pemimpin, mestinya dia bersikap bijaksana, mesti tahan emosi. Dalam menghadapi situasi politik yang makin panas, kita butuh sikap kepemimpinan yang cooling down, tidak membangkitkan emosi rakyat.
Tapi, memang, nation state kita belum jadi. Ini pekerjaan rumah (PR) kita sebagai bangsa ke depan.

Anda yakin SBY terganggu dengan persoalan pengeras suara?

Ah, saya kira tidak. Substansi yang disampaikan kepada pendemo-dengan berbagai masalah nasional yang mereka sampaikan-itu yang dia mungkin tidak suka.
Masyarakat, apakah mereka itu buruh, mahasiswa, atau rakyat biasa, punya hak untuk menyampaikan pendapatnya, punya hak untuk menyampaikan keluhannya kepada para pemimpinnya.
SBY itu presiden yang dipilih rakyat. Itu, karena janji-janjinya untuk melakukan perubahan, pada waktu kampanye.
Kalau nyatanya hidup makin susah-beras mahal, untuk mendapatkan minyak tanah mesti ngantre, sementara gas elpiji langka-wajar, dong, kalau rakyat menagih janji melalui aksi demo.
Sekarang kita sedang dihadapkan pada krisis finansial global. Pemerintah harus serius menghadapi hal itu, jangan hanya sebatas wacana. Rakyat menunggu perbaikan: roda perekonomian harus berjalan, lapangan pekerjaan harus diciptakan, kebutuhan sandang, pangan, dan papan harus terpenuhi.

Mungkin SBY merasa apa yang disampaikan para pendemo tidak benar?

Ah, tidak benar bagaimana? Nyatanya harga kebutuhan pokok makin mahal. Beras mahal, pupuk mahal dan langka.
Yang sangat bikin kecewa masyarakat, itu tadi: dulu masyarakat diminta pakai gas, katanya lebih ekonomis. Tapi, setelah masyarakat pakai gas, kini gas langka. Kalau ada, harganya mulai naik.
Celakanya, minyak tanah sulit didapat. Kalau ada, harganya Rp 10.000 per liter. Saya sungguh nggak mengerti, bagaimana nalar para pemimpin kita itu.
Lihat saja itu berita di TV: ibu-ibu dengan polosnya mengeluhkan masalah kelangkaan gas elpiji dan mahalnya minyak tanah. Apa para pemimpin kita itu tidak mendengar jeritan rakyatnya.

Jadi, soal pengeras suara tadi?

Sudah teriak-teriak pakai pengeras suara saja tidak didengar, apalagi nggak pakai pengeras suara. Bicara di jalanan tidak pakai pengeras suara, siapa yang mau dengar? Itu sama saja dengan tukang tambal ban di pinggir jalan yang tidak punya pompa, bagaimana mau mengisi angin.
Orang demo pakai pengeras suara kok dilarang, yang bener sajalah. Seorang presiden yang terganggu karena aksi demo pakai pengeras suara itu merupakan absurditas.
Masalah yang disampaikan oleh para pendemo?
Lho, kan seputar itu-itu juga. Paling-paling menuntut kenaikan upah buruh, masalah karyawan kontrak, dan masalah yang menyangkut isi perut.

Jadi?

Ya, SBY mesti mau menghargai perbedaan pendapat yang ada di masyarakat, termasuk yang disampaikan lewat aksi demo. Sikap SBY melarang orang berdemo pakai pengeras suara itu bisa menimbulkan kesan SBY tidak tahu demokrasi. Sikap seperti itu secara politik bisa merugikan SBY sendiri.
Lihat itu Barack Obama, dia bilang, buruh-buruh yang menduduki perusahaan itu sah-sah saja.

Dampak dari sikap itu?

Itu tadi, akibat "provokasi" itu, polisi di lapangan yang jadi korban. "Provokasi" itu bisa menyebabkan polisi semakin brutal terhadap orang-orang yang melakukan aksi demo. Satuan pengamanan (satpam) pun bisa juga ikut brutal terhadap para pendemo.
Lihat saja itu di TV: para mahasiswa dan mahasiswi yang menentang disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) menjadi undang-undang, di ruang sidang DPR, diperlakukan sangat kasar.

Apa artinya itu semua?

Mari kita belajar untuk saling menghargai perbedaan pendapat.***

Kamis, 25 Desember 2008

AWAS, 3.000 SENPI TAK DIKETAHUI KEBERADAANNYA

Sedikitnya 3.000 pucuk senjata api nonorganik masih beredar di masyarakat. Padahal, sesuai instruksi Kepala Polri (Kapolri), senjata-senjata yang dimiliki warga sipil itu harus dititipkan ke kepolisian setempat.

"Berdasarkan Surat Perintah Kapolri Nomor 117/8/2005, warga sipil yang mempunyai izin memiliki senjata api wajib menitipkannya ke polda atau kepolisian setempat," kata Wakapolda Metro Jaya Brigjen Pol Jassir Karwita kepada wartawan di Mapolda, Selasa.

Pernyataan Wakapolda itu terkait dengan kabar yang menyebutkan bahwa para ketua RW, khususnya yang wilayahnya berada di daerah rawan kejahatan, akan dibekali senjata api nonorganik untuk kepentingan pengamanan wilayah atau bela diri.

Pihaknya mengimbau warga yang belum menitipkan segera menitipkannya ke polda atau ke kepolisian setempat. Bagi yang membandel, mereka bisa dijerat UU Darurat Tahun 1951 tentang Senjata Api dengan ancaman hukuman 20 tahun.

Wakapolda menyebutkan, izin senjata api yang dikeluarkan Polda Metro Jaya jumlahnya sekitar 5.000 pucuk. Setelah ada Surat Kapolri Nomor 117/8/2005, ada sekitar 40 persen (2.000 pucuk) pemegang izin yang menitipkan ke polda.

Dengan begitu, masih ada sekitar 3.000 pucuk yang tidak diketahui rimbanya. Alasan masih banyaknya senpi yang belum dititipkan adalah polda kesulitan mencari pemegang izin, mengingat ada yang pindah domisili atau belum memperpanjang izin karena alasan tertentu.

"Sejak surat perintah Kapolri turun, kami terus menyosialisasikan hal ini. Karena itu, semua pihak wajib mematuhi. Bagi yang tidak menitipkan atau memperpanjang izin, ancaman pidana siap menanti," kata dia.

Sesuai ketentuan, jenis senjata yang diizinkan digunakan warga sipil merupakan senjata nonorganik, baik berupa senjata api, pistol karet, maupun pistol gas. Mereka yang diizinkan memiliki senpi telah memenuhi ketentuan standar, yakni melalui seleksi, tes psikologi, dan sejenisnya.

Selain itu, juga ada pejabat-pejabat tertentu (sipil) yang diizinkan menggunakan senpi, misalnya Dirut BUMN, pejabat Bea Cukai, kejaksaan, dan Imigrasi. Sedangkan untuk petugas sekuriti, Satpol PP atau atlet menembak, izin penggunaannya dibatasi di area tertentu.

Pihak Polda juga menegaskan, tak ada perubahan kebijakan terhadap kepemilikan dan penggunaan senjata api nonorganik untuk bela diri yang dimiliki warga sipil.
Kebijakan kepemilikan dan penggunaan senjata api untuk warga sipil masih berpedoman pada Skep Kapolri Nomor 82/2004 yang dikeluarkan pada 16 Februari 2004 tentang perizinan dan syarat-syarat penggunaan senjata api.

"Polda Metro Jaya tidak mempunyai kebijakan sendiri. Apalagi, untuk memberikan izin senjata api seperti pada RW atau lainnya," kata mantan Direktur Intelkam Polda Metro Jaya itu.
Lebih jauh Jassir mengatakan, surat izin bisa diperpanjang, tapi senjata dititipkan. Tidak ada lagi izin kepemilikan senjata baru bagi sipil untuk membela diri. Ini mengingat banyak kejadian menyalahgunakan senjata api oleh warga sipil.

Berbagai kasus penyalahgunaan senjata api sudah sering terjadi. Selama tahun 2008, tidak kurang terjadi delapan kasus kejahatan bersenpi.
Misalnya, kasus perampokan terhadap nasabah HSBC di Jalan Muara Karang, Jakut. Korban Tatang Wiryadinata yang hendak menyetor uang perusahaan dirampok kelompok bersenpi. Uang sebanyak Rp 200 juta berbentuk dolar AS dan rupiah raib dibawa kabur kawanan.

Penyalahgunaan senpi juga acap terjadi untuk menakut-nakuti korban. Menjawab hal itu, Wakapolda mengatakan, umumnya senpi yang digunakan untuk kejahatan berjenis rakitan dan bukan nonorganik. Sedangkan yang untuk menakut-nakuti, izinnya ilegal atau sudah kedaluwarsa. (Sadono)

Selasa, 23 Desember 2008

BANYAK WARGA BANDUNG BELUM SADAR BENCANA


Siapa yang tak kenal Bandung? Ibu kota Jawa Barat yang dikenal dengan sebutan "Paris van Java" itu merupakan kota wisata yang sekaligus surga belanja. Tak hanya itu, Bandung juga menjadi tempat berkumpulnya para ilmuwan, mahasiswa, serta seniman yang ingin mencari inspirasi.
Sebenarnya pesona Bandung lebih dari itu. Deretan gunung di sekelilingnya menyajikan keindahan alam serta perbukitan di situ menyimpan sejarah geologis yang tiada ternilai.

Tapi, siapa yang mengira di balik semua pesona dan potensinya, Bandung berada di daerah yang rawan bencana. Kebanyakan masyarakat juga tidak tahu bahwa musibah besar-seperti gempa bumi, longsor, dan banjir-bisa mengancam sewaktu-waktu.

Setidaknya permasalahan itu mengemuka dalam workshop geosains untuk wartawan bertema "Selamatkan Cekungan Bandung" di Lembang pada 5-6 Desember 2008. Workshop yang dibuka Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (IPK LIPI), Dr Ir Hery Harijono, itu dalam rangka Tahun Internasional Planet Bumi 2008.

"Tugas kita sebagai ilmuwan dan media massa, mengingatkan terus masyarakat bahwa kita hidup di daerah rawan bencana. Jangan tidak peduli," kata Herry.

Sesar Lembang

Dr Ir Eko Yulianto dan Dr Ir Budi Brahmantyo dari Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) menyebutkan, terkait dengan musibah gempa, Bandung berada di dekat patahan (sesar) yang disebut Sesar Lembang. Sesar Lembang sendiri masih aktif akibat adanya aktivitas pertemuan lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Malah, sesar yang bisa dilihat di dekat perumahan mewah Graha Puspa Lembang itu berpotensi menimbulkan gempa berkekuatan 6,9 SR.

Kedua ilmuwan itu menyayangkan makin maraknya pembangunan perumahan di Bandung Utara. "Saya juga tidak tahu mengapa begitu gampangnya dikeluarkan izin untuk membangun perumahan. Apalagi, banyak rumah yang dirancang tanpa memperhitungkan dampak bencana (tahan gempa)," kata Budi Brahmantyo seraya menambahkan bahwa masyarakat harus merekonstruksi rumahnya dengan bangunan tahan gempa.

Karst Citatah

Kawasan lain yang tidak terlindungi adalah Karst Citatah. Perbukitan kapur yang membentang di Padalarang itu kini kian rusak dan cenderung diabaikan. Padahal, perbukitan itu mengandung nilai sejarah yang luar biasa dan merupakan laboratorium terbuka baik bagi mahasiswa maupun peneliti yang mempelajari ilmu kebumian.

Sudah puluhan tahun kawasan itu dipilih untuk industri penambangan kapur ketimbang disisakan ruang untuk kawasan lindung. Masyarakat, khususnya pengusaha, memandangnya sebagai komoditas yang menghasilkan keuntungan miliaran rupiah tiap tahun (sementara untuk pendapatan asli daerah hanya Rp 300 juta). Kalau menyusuri formasi perbukitan di sana, khususnya di Km 12 - Km 27 antara Cianjur dan Bandung, bukit-bukit tidak pernah ada yang utuh.

"Banyak sesepuh yang menutup mata. Mereka tidak tega melihat alam yang ketika mereka muda begitu indah, sekarang menjadi bukit yang terpotong-potong menunggu kehancuran," kata Budi Brahmantyo.
Gunung-gunung di sekitar cekungan juga merana karena hutan di lereng-lereng gunung telah dibabat habis untuk daerah pertanian dan perumahan. Akibatnya, daerah resapan air menyusut dan membuat pasok air ke tanah dan pasokan ke sungai turun drastis. Sungguh ironis jika Cekungan Bandung yang dahulu kaya air itu dalam waktu dekat menghadapi masalah kesulitan air.

"Seharusnya penghancuran bukit itu dihentikan. Ancaman yang nantinya dihadapi selain tanah longsor adalah bahaya bagi kesehatan (ginjal dan ispa). KRCB sudah menyurati Pemkab Bandung Barat agar menghentikan dulu penambangan di situ sampai adanya perda mengenai tata ruang," kata Eko Yulianto.

Sekitar delapan tahun lalu ditemukan benda-benda prasejarah untuk pertama kali di Goa Pawon, Pasir Pawon, Karst Citatah, antara lain berupa alat-alat batu dan tulang, gerabah, sisa tulang, gigi binatang, serta kerangka utuh homo sapiens. Kendati penambangan sudah tak sehebat dulu, di kawasan itu masih saja dilakukan penggalian.
Sedangkan kaitannya dengan banjir, penanganannya juga karut marut. Salah satunya upaya pemapasan Curug Jompong (air terjun) yang kembali mengemuka. Ini menunjukkan bahwa Pemprov Jabar
kelihatan telah kehabisan akal.

KRCB mengingatkan bahwa pemapasan tidak menyelesaikan masalah. "Pemapasan Curug Jompong yang telah diwacanakan sejak tahun 2006 harus dikaji lebih dalam. Selain erosi vertikal, pemapasan juga mengancam pasok kelistrikan untuk Jawa dan Bali mengingat tanah yang terbawa oleh sungai level akan terbawa ke Waduk Saguling, yang merupakan salah satu pembangkit listrik terbesar di Jawa. (Sadono Priyo)

KAPOLDA USUNG POLICING WITH LOVE


SEMARANG (Don-News) : Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Alex Bambang Triatmodjo menegaskan, untuk menjabarkan program akselerasi yang lebih mencitrakan sebagaipolisi yang humanis dan tegas, pihaknya siap mengedepankan polisi cinta kasih (policing with love).

"Sebagai wujud transformasi Polri modern dan profesional sebagaimana yang didengung-dengnungkan Kapolri, saya siap mengedepankan dan menyosialisikan ke seluruh jajaran kepolisian untuk membangun polisi cinta kasih," kata Alex Bambang Riatmodjo saat pisah sambut Kapolda, Jumat malam, di Semarang.

Spanduk-spanduk bertuliskan "Policing with Love" ikut memeriahkan acara penyambutan Kapolda baru yang sebelumnya menjabat Kepala Divisi Telematika Polri itu. Alex Bambang juga pernah menduduki Kapolresta Surabaya Selatan, Kapolres Metro Bekasi, Kaditserse Polda Metro Jaya, Kapolwiltabes Bandung, dan sejumlah jabatan di Mabes Polri hingga menduduki salah satu Deputi pada Kementrian Koordinasi Bidang Polkam Kabinet Indonesia Bersatu.

Lebih lanjut priya kelahiran Kediri 17 Juli 1955 itu mengatakan, sesuai dengan kultur masyarakat di Jawa, pihaknya berusaha untuk ngayahi tugas polisi kanthi katresnan atau melakukan tugas polisi dengan cinta kasih. Untuk melakukan program-programnya tersebut, kata Alex, pihaknya tidak akan meninggalkan adat dan budaya sudah terbentuk di mana masyarakatnya terkenal dengan kelemah-lembutan, sabar dan rendah hati.
"Saya sendiri yang biasa meledak-ledak kalau sedang tugas di lapangan, harus belajar sabar, lembah lembut dan redah hati. Saya juga tekankan pada seluruh jajaran kepolisian untuk senantiasa menyesuaikan kearifan lokal masyarakat Jawa itu," katanya.
Acara yang digelar di ruang Poncowati Hotel Patra Semarang itu juga dihadiri Wagub Jateng Rustriningsih dan jajaran Muspida Jateng, Kapolda lama Irjen FX Soenarno yang kini Deputi Bidang Koordinasi dan Informasi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, tokoh-tokoh ulama dan seluruh pejabat polda serta seluruh kapolres di Jateng.
Karier Kapolda baru ini memang tergolong menonjol, tapi juga sempat lama tenggelam. Sejak lulus Akabri tahun 1977, ia ditempatkan pertama kali di Ambon, Maluku. Di situ ia sempat kuliah di Universitas Patimura dan menikahi kakak kelasnya Betty T Atmodjo. Bapak tiga orang anak itu kemudian melanjutkan di perguruan Tinggi Ilmu Kepolsian (PTIK) (1996). Lulus Sespim Polri (1994) dan di Lemhanas memperoleh penghargaan Wibawa Seroja Nugraha dari Gubernur Lemhanas RI sebagai lulusan terbaik tahun 2001.

Setelah menduduki berbagai jabatan komando di Polri, nama Alex sempat menghilang. Ia ditempatkan di Kapus Represif Badan Narkotika Nasional (BNN), Staf Ahli Kapolri dan Deputi pada Kementrian Koordinasi Bidang Polkam. Pada Maret 2008, Kapolri Sutanto menugaskan dia di Mabes Polri kembali, yaitu sebagai Kadiv Telematika dan Kapolri sekarang Bambang Hendarso Danuri menugaskan di Jawa Tengah.

Berbagai kasus besar sempat diungkap. Saat menjabat Kepala Reserse Bidang Pembunuhan di Mabes Polri, ia pernah membongkar kasus pembunuhan yang didalangi Kaditserse Polda Maluku di Ambon. Saat menjabat Kapolwiltabes Bandung, pihaknya berhasil menangkap tersangka pelaku peledakan Bursa Efek Jakarta. Ia juga paling ditakuti kalangan pengedar gelap narkoba tahun 2000, di mana banyak melibatkan warga negara asing berkulit hitam. (Sadono Priyo)

Minggu, 14 Desember 2008

Rabu, 26 November 2008

MASIH BANYAK YANG HARUS DIBENAHI DALAM MASALAH PENCEMARAN UDARA

Masalah polusi udara merupakan satu dari empat masalah lalu lintas yang dihadapi Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, selain masalah kecelakaan, pelanggaran, dan kemacetan lalu lintas.

Di kota besar seperti Jakarta, kontribusi terbesar polusi udara berasal dari kendaraan bermotor. Menurut catatan Bank Dunia, 70 persen pencemaran udara berasal dari kendaraan bermotor yang memproduksi emisi (gas buang).

Jakarta sendiri masuk dalam tiga besar untuk kategori kota terpolusi di dunia. Kadar karbon dioksida (CO2) dan karbon monoksida (CO) yang dihasilkan dari gas buang kendaraan di ibu kota Indonesia ini telah melampaui ambang batas. Kondisi ini tentu sangat membahayakan, mengingat gas beracun itu berpotensi menimbulkan masalah kesehatan.

Pesatnya pertumbuhan jumlah kendaraan yang tidak diimbangi dengan panjang ruas jalan semakin membuat kekhawatiran bahwa ancaman polusi udara yang ditimbulkan emisi kendaraan makin serius. Itulah karenanya pelaksanaan uji emisi kendaraan disertai penegakan hukumnya menjadi mutlak diperlukan.

"Secara prinsip, Polda Metro Jaya setuju dengan pelaksanaan uji emisi kendaraan. Namun masalah penegakan hukum belum dapat serta-merta kita laksanakan secara tegas mengingat masih banyak persoalan yang harus dibenahi," kata Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol Djoko Susilo menjawab Suara Karya, Kamis.

Polisi lalu lintas sendiri merupakan salah satu "korban" dari buruknya pengelolaan lingkungan di Jakarta mengingat mereka berkepentingan dalam pengaturan dan penjagaan lalu lintas.

40 Persen


Menurut catatan Dirlantas Polda, setiap harinya ada sekitar 1.250 hingga 1.500 unit kendaraan yang didaftarkan. Berdasarkan pengkajian, setap tahun jumlah kendaraan roda dua atau roda empat mengalami pertambahan hingga 40 persen.

Awal bulan Oktober 2006, misalnya, jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar mencapai 7.015.000 unit. Sebanyak 98 persen di antaranya merupakan kendaraan pribadi.

Pada 2010 hingga 2014 nanti jumlah kendaraan bermotor semua jenis diperkirakan membengkak dua kali lipat antara 10-14 juta unit. Sayangnya, hal ini tidak didukung oleh pertambahan ruas panjang lebar jalan yang saat ini mencapai 7.639.136 km.

Ihwal pelaksanaan uji emisi tersebut pihak Dirlantas mengaku masih mengalami hambatan dan harus segera dibenahi. Ada kalangan masyarakat yang enggan mengikuti uji emisi karena besarnya biaya uji emisi.

Dalam sosialisasi yang disampaikan pemerintah, biaya uji emisi di sejumlah bengkel hanya berkisar antara Rp 30 ribu-Rp 50 ribu per kendaraan. Kenyataan di lapangan ditemukan besaran ongkos dikenakan sekitar Rp 450 ribu sampai Rp 700 ribu.

Ihwal mahalnya biaya uji emisi dibenarkan DPD Organda DKI Jakarta. Asosiasi pengusaha angkutan umum ini melihat, mahalnya biaya itu membuat banyak pemilikan kendaraan bermotor mencuekin Perda No 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

"Banyak pemilik kendaraan enggan melakukan uji emisi karena tidak saja memberatkan, tapi juga tidak ada transparansi," kata Sekretaris DPD Organda DKI Jakarta, TR Pandjaitan.

DPD Organda malah menemukan sejumlah bengkel yang mengutip tarif mahal, meski bengkel tersebut telah disertifikasi dan ditunjuk secara resmi oleh pemerintah. "Ini fakta, masak minta sertifikat uji emisi saja pemilik kendaraan sampai mengeluarkan Rp 1,5 juta? Mengapa biaya uji emisi lebih besar dari tarif umum yang hanya Rp 50 ribu," kata dia menanyakan.

DPD Organda melihat tak adanya transparansi Pemprov DKI Jakarta dalam pelaksanaan uji emisi ini. Misalnya untuk kriteria bengkel yang ditunjuk. Banyak ketentuan yang tidak jelas sehingga menimbulkan kecurigaan adanya praktik KKN.

Ada pula pemilik kendaraan yang mengaku sering tidak lulus setiap ikut tes. Konsekuensinya, pemilik kendaraan itu harus mengeluarkan biaya ekstra untuk perawatan.

Benturan


Lebih lanjut masalah yang harus dibenahi yakni tentang aspek sanksi bagi pemilik kendaraan yang tidak lulus uji emisi. Antara Perda Nomor 2 Tahun 2005 dengan UU No 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) belum sikron. Dalam pasal 28 ayat (1) Perda No 2/2005, mereka yang tidak lulus uji emisi gas buang diancam penjara paling lama enam bulan atau denda sebanyaknya Rp 50 juta.

Ini bertentangan dengan pasal 67 UU No 14 Tahun 1992 tentang ancaman pidana bagi pengendara yang kendaraannya tidak lulus uji emisi, di mana paling lama dua bulan atau denda Rp 2 juta.

Kemudian, dari aspek pemeriksa kendaraan. Menurut Djoko, pada pasal 19 Perda Nomor 2 Tahun 2005, pemeriksa bisa dari pihak swasta yang memiliki bengkel yang telah memenuhi syarat.

Sementara kriteria penyidik yang melakukan tes uji emisi dari kalangan kepolisian yang berhak melakukan proses indetifikasi dan pengecekan uji emisi gas buang kendaraan bermotor adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Dinas Perhubungan, dengan klasifikasi pangkat paling rendah pengatur muda tingkat I (golongan II/B) dan berpendidikan minimal sekolah tingkat lanjutan atas (SLTA), pernah ditugaskan di bidang teknis operasional, dan sudah pernah mengikuti pendidikan khusus di bidang penyidikan. Hal itu diatur dalam UU Kepolisian Negara Nomor 2 Tahun 2002.

Perbedaan kriteria itu harus dibicarakan terlebih dahulu dengan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta sebagai pihak yang memberikan mandat pengujian emisi gas buang kepada lebih kurang 80 bengkel di Jakarta.

Kendati demikian, dalam praktik di lapangan, polisi siap melakukan langkah-langkah konkret untuk menyelamatkan udara Jakarta, termasuk pemberian sanksi bagi kendaraan yang tidak lulus uji emisi gas buang. (Sadono Priyo)


-

Jumat, 14 November 2008

MASYARAKAT MASIH ENGGAN BERURUSAN DENGAN POLISI










"Kami Siap Melayani Masyarakat". Itulah kalimat yang tertera pada semua kantor kepolisian di wilayah Indonesia. Tapi, banyak orang enggan berurusan dengan polisi.

Bahkan tak sedikit orang yang kecurian, seperti kecurian sepeda motor, pun enggan melapor ke polisi. Lebih baik pasrah ketimbang melapor polisi. Pasalnya, sudah kehilangan motor, masih juga dimintai duit.



Dan yang paling menyedihkan adalah, tuduhan seringnya oknum polisi memainkan perkara atau mencari-cari kesalahan, di mana ujung-ujungnya untuk mendapatkan duit. Banyak orang mengaku harus mengeluarkan uang bila berurusan dengan polisi. Bahkan petugas Polisi Lalu Lintas (Polantas) kerap dituding mencari-cari kesalahan bila pelanggar lalu lintas tidak mau berdamai.

"Jadi, berurusan dengan polisi itu repot. Semuanya ujung-ujungnya dimintai duit." Demikian pernyataan sejumlah orang kepada Suara Karya ketika dimintai komentar tentang kinerja aparat kepolisian.



Berbagai tuduhan dan stigma buruk ini tentu membuat pimpinan Polri tertohok. Penilaian itu, kata petinggi Polri, sangat tidak adil mengingat selalu menyalahkan polisi. Bukankah institusi yang bulan Juli nanti berusia 61 tahun ini berada di tengah kondisi bangsa yang sedang sakit? Dengan kata lain, reformasi di tubuh Polri memang belum berjalan sepenuhnya atau masih bolong-bolong.



Dana Minim


Gambaran kinerja kepolisian yang masih compang-camping itu terlihat dari pengakuan sejumlah anggota polisi di lapangan. Mereka terpaksa memeras otak agar dapat melaksanakan tugasnya sekaligus menyambung hidup keluarganya. Beban yang dipikul polisi dirasakan makin berat.

Beban berat yang dimaksud, seperti dialami Brigadir Polisi Ahmad. Ia mengaku pernah bertugas di unit mobil patroli selama dua tahun di Polres Depok. Ia biasa patroli selama 12 jam sehari.

Selama patroli, komandannya membekali kupon bensin 16 liter dan uang saku. Bekal tersebut, menurut dia, masih jauh dari cukup untuk tugas patroli. "Belum lagi kalau harus meluncur ke Sukmajaya (wilayah polsek-Red). Bensin sudah pasti tidak cukup," kata Ahmad yang kini berdinas di Sabhara Polda Metro Jaya.

Ia mengaku beban yang dipikul petugas patroli cukup berat. Misalnya soal uang makan. Bekal dari komandan Ahmad untuk 12 jam tugas sangat tidak cukup untuk makan dua kali, apalagi untuk rokok dan minum.

Belum lagi dia mesti dihadapkan pada masalah pemeliharaan mobil patroli. Sejak awal operasional mobil patroli Carens pada pertengahan 2002, dana dari Polda Metro Jaya yang masih bertahan cuma uang makan personel dan ongkos bahan bakar yang diberikan melalui kupon bahan bakar.

"Selebihnya, seperti ongkos ganti oli, ganti ban, dan servis mesin, harus ditanggung sendiri oleh polsek (kepolisian sektor-Red) masing-masing. Yang jadi pertanyaan, dari mana polsek-polsek mendapat uang untuk itu," ujarnya.

Tak hanya Ahmad, pimpinan dia juga mengeluhkan biaya untuk perawatan mobil patroli. Ini membuat komandan atau anggota-anggota di lapangan putar otak untuk menutupi kekurangan biaya operasional.


Polisi Terjebak


Gara-gara keterbatasan dana ini tak sedikit oknum harus mendekat kepada orang-orang yang berkantong tebal. Institusi polisi pun seperti terjebak pada sumbangan-sumbangan donatur, seperti pengelola tempat hiburan, bos kelompok preman, dan lain sebagainya.

Celakanya, sumbangan itu sering ada maunya. Tak sedikit orang yang merasa telah menyumbang banyak pada kepolisian meminta toleransi perkara. Misalnya, sang donatur yang bos judi di tempat hiburan meminta dilindungi meski jelas-jelas usahanya melanggar hukum. Atau polisi tutup mata pada bisnis tempat hiburan yang menjadi ajang narkotika.

Obsesi pimpinan Polri untuk menyiagakan sebanyak-banyaknya polisi di tengah masyarakat agaknya masih menghadapi banyak kendala. Selain operasional mobil patroli yang dananya terbatas, Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Pol Adang Firman juga belum punya sistem patroli ideal untuk menciptakan rasa aman warga Jakarta dan sekitarnya.

"Memang saya mendapat informasi dari bawah tentang betapa sulitnya merawat dan mengoperasikan mobil dinas mengingat dana kita terbatas. Kita terus memikirkan hal ini karena keberadaan mobil patroli sangat dibutuhkan masyarakat," kata mantan Asisten Operasi Kepala Polri itu.


Pintar-pintar Komandan


Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol I Ketut Untung Yoga Ana menambahkan, masyarakat jangan selalu menuntut polisi untuk melakukan hal yang ideal. Situasi kamtibmas yang rapuh karena beban yang dipikul polisi makin berat.

Contohnya, minimnya anggaran polisi menyebabkan dua soal, yakni menyangkut kualitas sumber daya manusia dan tingkat penanggulangan kejahatan.

"Coba lihat berapa biaya untuk patroli dan penyidikan? Biasanya kapolres atau kapolsek hanya menganggarkan untuk kasus menonjol atau yang menjadi perhatian masyarakat. Misalnya, dari 100 kasus, paling yang diberi anggaran 20 kasus. Sisanya? Ya pintar-pintar komandannyalah," kata mantan Kapolres Jakarta Barat itu.

Keterbatasan dana dan personel pada akhirnya membuat polisi punya banyak hambatan dalam merealisasikan semboyannya: melindungi dan melayani masyarakat. Semboyan yang coba diterjemahkan dalam konsep community policing itu belum dapat berjalan maksimal.

Salah satu prinsip dasar community policing adalah perubahan paradigma polisi, dari tadinya polisi militeristik, yang cenderung menjadi alat kekuasaan dan penekan, menjadi polisi yang bekerja dengan prinsip melayani sebagai polisi sipil.

Pola kerja ini menuntut polisi tidak hanya bergerak jika ada pengaduan masyarakat, tetapi harus menangani masalah sejak dini, dan mencegahnya untuk tidak berkembang menjadi pelanggaran hukum.

Karena itu, kata Untung Yoga, di tengah keterbatasan yang melingkupi polisi Indonesia, termasuk di Jakarta, yang penting untuk terus dilakukan adalah menanamkan pemahaman di kalangan masyarakat bahwa keamanan bukan hanya tanggung jawab polisi. (Sadono Priyo)








AWAS, KEJAHATAN DI TAKSI INCAR KARYAWATI DAN IBU-IBU



Para pengguna jasa taksi kini perlu ekstra hati-hati. Pasalnya, kejahatan di dalam taksi, khususnya di wilayah Jabotabek, marak lagi. Setelah beberapa bulan mereda, masyarakat kembali dikejutkan oleh kasus perampokan yang melibatkan sopir taksi.

Dua kasus kejahatan di dalam taksi menghiasi berita di sejumlah harian Ibu Kota. Kasus pertama dialami Ade Sulistina (29) dan Hilda Karmila (26). Dua karyawati itu menderita depresi dan harus dirawat di RS Pertamina Pusat, Jakarta, setelah dirampok di taksi.
Kedua perempuan itu naik taksi sekitar pukul 20.00 WIB Senin pekan lalu seusai berbelanja di Carrefour Ratu Plasa. Ia mendapat taksi dari calo yang kebetulan mangkal di pusat perbelanjaan tersebut.
Mereka mendapat taksi warna biru dalam kondisi bagus. Karena barang belanjaan banyak, Ade dan Hilda tidak bisa menolak ketika taksi sudah berada di depannya. Keduanya sempat melihat identitas nama di dashbord dan kaca taksinya gelap.

Sopir taksi langsung tancap gas begitu dua perempuan itu menyebutkan hendak ke Jalan Hang Jebat, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sesampainya di dekat Hotel Century Park, Senayan, tiba-tiba sopir menghentikan taksi dengan alasan lampu mobil mati.

Sopir taksi pun turun dan pura-pura memeriksa bagian depan mobil. Tak disangka-sangka dia kembali dengan membawa pisau. Ia minta kedua penumpangnya tidak berteriak. Saat itu juga dua laki-laki lain masuk ke dalam taksi. Satu orang duduk di kursi kemudi dan satu lagi duduk di sebelah kiri kursi belakang. Ade sempat hendak teriak, namun dipukul lehernya oleh sopir taksi itu.

Taksi meluncur ke jalan tol dan menuju arah Tanjung Priok. Taksi berhenti di jalan tol sebelum Tanjung Priok. Saat itulah semua perhiasan dan HP mereka dipreteli. Tak lama kemudian masuk satu orang lagi dan duduk di samping sopir. Orang ini mengikuti taksi itu dengan mobil yang lain.
Mereka lalu meminta Ade dan Hilda menyerahkan kartu ATM, kartu kredit, dan nomor PIN-nya. Karena ketakutan, ATM dan kartu kredit keduanya diserahkan ke rekan perampok yang menunggu di luar dengan mobil yang lain.

Setelah dibawa berputar-putar, mereka diturunkan di tengah jalan (Jalan Sunter). Sebelum pulang, kawanan bandit sempat mengancam agar korban tidak melapor ke polisi karena identitasnya dipegang.
Tetapi kedua perempuan itu tetap melaporkan musibah yang baru dialaminya ke Polda Metro Jaya. Total kerugian keduanya sekitar Rp 10 juta, yaitu berupa uang tunai, HP, dan perhiasan yang dibawa.
Ternyata Ade dan Hilda tidak sendirian. Beberapa hari kemudian, nasib yang sama dialami Nova Anita (39). Ibu dua anak yang tinggal di Jalan Sunan Demak 16 Rawamangun, Jakarta Timur, itu kehilangan dua cincin emas, jam tangan, HP Sony Ericson W900, ATM, dan tiga kartu kredit.

Malam itu, sekitar pukul 20.30 WIB, ia hendak pulang ke rumahnya setelah menemui rekan bisnisnya di Jalan Matraman, Jakarta Timur. Nova naik taksi di depan Hotel Sentral, Jalan Pramuka, Jakarta Timur.
Ia naik taksi yang berhenti di depannya. Ia tidak menaruh curiga mengingat kondisi taksi bagus dan dilengkapi dengan atribut resmi. Tapi suasana malam hari menjadikan Nova tak sempat mengingat nama perusahaan taksi tersebut.

Sopir taksi segera meluncur ke arah timur Jakarta, seperti yang diminta. Sesampainya di Jalan A Yani, tiba-tiba sopir berhenti. Bersamaan dengan itu dua laki-laki tak dikenal cepat masuk ke dalam taksi dari dua arah berbeda.
Nova disekap mulutnya. Korban ditodong dengan pisau lipat dan minta ibu muda itu menyerahkan harta yang dibawa. Singkatnya, aksi perampokan berjalan mulus tanpa perlawanan dan korban ditinggal begitu saja di jalan.
Tiga Terungkap

Dua kasus tersebut menambah panjang daftar aksi kejahatan di dalam taksi di Jabotabek. Menurut catatan Polda Metro Jaya, dalam tiga bulan terakhir telah terjadi enam kasus perampokan di dalam taksi. Dari berbagai kasus itu, baru tiga kasus yang terungkap.

Dari sejumlah kasus, tim Jatanras Polda Metro sempat membuat analisis terhadap tren kejahatan taksi. Kasat Jatanras Polda AKBP Fadil Imron mengatakan, kebanyakan kasusnya terjadi di kawasan segitiga emas Jakarta pada jam pulang kantor (sore-malam). Pelaku cenderung memilih karyawati dan ibu-ibu muda sebagai korbannya.

Kemudian, ciri-ciri taksi yang digunakan aksi kejahatan yaitu nomor pintu diberi gemuk agar tidak jelas, kaca riben (gelap), dan biasanya taksi tarif lama.
Modus kejahatan, pelaku biasanya berkomplot antara 3 hingga 5 orang. Mereka menyewa dua taksi, satu digunakan untuk mencari mangsa (korban) dan satu taksi lagi mengikuti dari belakang.
Sebelum menjalankan aksinya, biasanya sopir melakukan hal-hal yang tidak lazim. Seperti pura-pura berhenti untuk buang air, membenarkan sepatu, membeli minuman di warung, pura-pura mogok atau lampu mati. Setelah itu, kawanan yang membuntuti beraksi masuk ke dalam taksi dan menodong korbannya.

Menanggapi maraknya kejahatan taksi, Polda Metro Jaya telah melakukan upaya maksimal dalam rangka memerangi penjahat taksi. Kabid Humas Polda Metro Kombes Untung Yoga mengatakan, pihaknya sudah mengeluarkan rekomendasi untuk para operator taksi agar memperhatikan standardisasi keamanan dan keselamatan penumpang taksi.

Ketentuan penggunaan kaca film harus sesuai aturan (tidak terlalu gelap dan bisa dilihat dari luar), setiap taksi harus membuat sekat antara bagasi dan tempat penumpang, setiap taksi harus mempunyai sestem alarm dan diaktifkan. Dilengkapi dengan global positioning system (GPS), harus ada penertiban warna dan simbol taksi, memperketat perekrutan pengemudi taksi, membuat program kerja sama dengan polisi untuk melakukan razia. (Sadono Priyo)



Copy Right ©2000 Suara Karya Online
Powered by Hanoman-i

Rabu, 12 November 2008

IWAN BULE GANTIKAN CARLO TEWU





JAKARTA (Suara Karya): Sebanyak sebelas pejabat di lingkungan Polda Metro Jaya diserahterimakan di Mapolda, Senin (10/11). Beberapa di antaranya yakni Kombes Pol Mohammad Iriawan sebagai Direktur Reserse Kriminal Umum Polda menggantikan Kombes Pol Carlo Brix Tewu dan Kombes Pol Raja Erizman menjadi Direktur Reserse Kriminal Khusus menggantikan Kombes Pol Sigit Sudarmanto.
Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Adang Firman, yang memimpin upacara serah terima jabatan itu, mengatakan, proses mutasi merupakan hal yang lumrah dan dalam rangka tour of duty. "Ada yang dipromosikan, ada pula yang diganti karena sekolah, hal itu biasa," kata Adang Firman menjawab pertanyaan wartawan seusai acara yang tertutup bagi wartawan itu.
Carlo Tewu dan Sigit Sudarminto selanjutnya menjadi perwira menengah polda karena menempuh Sekolah Perwira Tinggi (Sespati) Polri di Lembang, Bandung. Sedangkan penggantinya, Moh Iriawan, sebelumnya menjabat Lekdik Rodalpres SDE SDM Polri dan Raja Erizman sebelumnya Kanit V Dit V/Tipiter Bareskrim Polri.
Jabatan yang mengalami pergantian tampuk pimpinan antara lain Kepala Biro Operasi yang semula dijabat oleh Kombes Pol Budi Winarso digantikan oleh Kombes Pol Arif Wachyudi, yang sebelumnya menjabat Kasat Brimob Polda Metro Jaya. Budi mendapat promosi sebagai Wakapolda Lampung. Jabatan Kasat Brimob selanjutnya dipegang oleh mantan Kasat Brimob Polda Sumatera Utara, Kombes Pol Murad Ismail.
AKBP Mohammad Fadhil Imran (mantan Kasat Jatanras Polda Metro) menempati posisi baru sebagai Kapolres Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan (KPPP) Tanjung Priok, menggantikan AKBP Angesta Romano Yoyol yang sekarang menjadi Wakapolres Jakarta Pusat. (Sadono)

Senin, 10 November 2008

19 WNA DIRINGKUS, 3 DITEMBAK MATI

JAKARTA-DONNEWS: Operasi Paniki yang digelar untuk menumpas peredaran narkoba oleh warga negara asing (WNA) berhasil menangkap sekitar 19 orang selama sebulan terakhir. Dari 19 orang itu, tiga di antaranya ditembak mati karena melakukan perlawanan.

Direktur IV Narkoba dan Kejahatan Terorganisasi Bareskrim Polri Brigjen Pol Harry Montolalu menyebutkan, barang bukti yang disita yakni narkotika jenis heroin sebanyak 370,1 gram, hasis (minyak ganja) sebanyak 28,3 gram, dan ganja kering 13,7 gram.

Sedangkan untuk jenis psikotropika yang disita sebanyak 25.500 butir ekstasi dan 200,5 gram shabu. "Kebanyakan narkotika dan obat-obatan berbahaya itu dibawa oleh orang-orang West Afrika (Afrika bagian barat--Red)," kata Harry Montolalu kepada wartawan di kantornya, Jumat.

Ketiga warga Afrika barat yang ditembak yaitu Oliver, Steve alias Ricardo, dan Joseph Nsubuga. Sementara 16 WNA lainnya masih dalam proses penyelidikan. Ricardo atau Steve ditembak saat penggerebekan di tempat persembunyiannya di Puncak, Bogor, sedangkan Oliver ditembak di Perumahan Mutiara Gading, Bekasi.

Lebih lanjut Harry Montolalu mensinyalir, hotel-hotel di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, ditengarai menjadi salah satu basis utama para bandar heroin asal Benua Afrika bagian barat itu.

"Dari hotel-hotel yang bertebaran di Tanah Abang dan sekitarnya itulah mereka diduga mengendalikan bisnis heroin," kata Harry di Jakarta, Jumat.

Untuk menghilangkan jejaknya sebagai bandar heroin, mereka banyak yang berkedok bisnis jual beli produk garmen. "Lihat saja di kamar-kamar hotel di sana. Banyak kamar hotel dijadikan lokasi jual beli produk garmen. Kamar hotel kok banyak baju-baju yang bergelantungan," katanya.

Ia meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menertibkan hotel-hotel itu agar tidak menjadi sarang bandar heroin. "Kembalikan hotel sebagai tempat menginap dan bukan untuk bisnis. Kalau mau bisnis, ya di tempat yang semestinya," katanya.

Polda Metro Jaya, katanya, juga pernah menyurati Pemprov DKI Jakarta untuk penertiban hotel-hotel itu, namun hingga kini belum ada tindakan apa pun. Bahkan, Harry menduga, para bandar narkoba itu melakukan pencucian uang dengan melakukan jual beli produk garmen tersebut.

Dari 54 terpidana mati kasus narkoba saat ini, sebagian besar adalah WNA asal Afrika barat. Dari jumlah itu, 43 orang di antaranya berada di LP Nusakambangan, sedangkan sisanya tersebar di berbagai penjara di Indonesia.

Pada 26 Juni 2008, Kejaksaan Agung mengeksekusi dua terpidana mati kasus narkoba asal Nigeria, yakni Samuel Iwuchukwu Okoye dan Hansen Anthony Nwaolisa di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Pada bagian lain, Harry Montolalu mengatakan, sebanyak lima napi telah mengendalikan bisnis narkoba ilegal dari balik penjara dalam satu bulan terakhir. Dari kelima orang itu, tiga di antaranya berada di Lapas Cipinang, sedangkan dua lainnya di Rutan Salemba.

Para napi ini, kata Harry Montolalu, menggunakan telepon seluler (HP) untuk memesan narkoba maupun memerintahkan anak buahnya di luar penjara sebagai kurir. "Masa ada napi pakai HP. Dari mana dia dapat HP? Malahan dipakai untuk transaksi narkoba pula," katanya.

Bagi napi yang terlibat kasus narkoba, Polri tetap akan memproses secara hukum setelah dia selesai menjalankan hukuman yang sedang dia jalani. "Napi yang terlibat narkoba akan disidangkan lagi begitu masa hukumannya habis," katanya.

Selain lima napi itu ada juga beberapa napi yang terlibat kasus narkoba, antara lain Chris, warga negara Nigeria. Chris tidak sendirian. Polisi juga menangkap petugas Lapas Cipinang bernama Yusuf karena ikut menjadi anggota jaringan Chris. Lima anak buat Chris yang berada di luar penjara juga telah ditangkap.

Chris yang berada di dalam Lapas Cipinang menggunakan tiga nomor telepon seluler sekaligus untuk mengendalikan transaksi heroin kelompoknya. (Sadono)

Minggu, 09 November 2008

BELAJAR DARI KRISIS, INDONESIA BISA BANGKIT


JAKARTA (DONNEWS) - Indonesia diyakini bisa bangkit dari krisis. Buruknya situasi Amerika Serikat (AS) akan dihadapi bangsa ini dengan bekal pengalaman sama pada 1998.

Di tengah kelesuan dalam berbagai sektor dan sebelumnya pernah didera ancaman disintegrasi bangsa, negeri ini akan bergerak maju sebagaimana sejarah pernah mencatat, Nusantara pernah mengalami masa kejayaan di masa lampau.

"Bangkit dari krisis memang bukan suatu keniscayaan, namun dulu Indonesia pernah mengalami masa-masa kejayaan. Ini menjadi optimsme tersendiri," kata sejarawan Dr Asvi Warman Adam dalam diskusi dan bedah buku berjudul "Jala Sutra Menuju Indonesia Raya", di Ancol, Jakarta, Sabtu (8/11).

Ikut membedah buku yang ditulis Hans Satyabudi tersebut di antaranya pengamat telematika Roy Suryo.

Asvi Warman menyebutkan, buku setebal 274 halaman dengan pendekatan sejarah dan penuh perumpamaan itu sebetulnya bertolak dari tujuan ideal yang ingin dicapai Indonesia.

Menurut dia, uraiannya menggunakan angka-angka yang sebetulnya juga tidak asing dalam pemikiran Jawa. Angka bisa dikaitkan dengan konsep bahkan tanggal sejarah.

"Dalam buku Jala Sutra disebutkan tahun 2008, 2017 dan 2045. Tahun 2008 wacana ini dicanangkan, 2017 tahun pencapaian desa yang lestari, pantai yang permai dan Indonesia makmur. Lalu 2045 Indonesia Raya, Nusantara, posisi kita pada tatanan dunia baru, globalisasi, duniabaru yang damai," kata staf pengajar Universitas Indonesia itu.

Ia menyebutkan, pemilihan angka tahun itu berdasarkan tahun kemerdekaan 8, 17 dan 45 yang ditambah dengan angka 2000.Lebih lanjut dalam buku ini penulis mencoba menghubungkan dengan legenda seorang raja yang bertapa di hutan.

Sang permasisuri dengan setia menanti sambil merajut benang sutra menjadi jala. Dalam tapanya raja itu harus pergi melanglang buana. Setelah kembali ke kerajaannya ia tidak pergi ke istana namun memilih tinggal di pinggir laut dan menjadi nelayan dengan menggunakan jala sutra yang dibuat isterinya.

Sang raja meninggalkan kemewahan, pergi berkelana mencari ilmu dan segala sesuatu yang baik bagi negeri dan bangsanya. Raja menemukan intisari kehidupan bahwa tugas utamanya adalah memanfaatkan lautan sebagai potensi alam yang besar untuk menyejahterakan rakyat.

Sang raja turun ke laut memberi contoh kepada rakyatnya untuk menangkap ikan dan jala. Yang perlu diteladani dari sang permaisuri adalah keteladannanya menggunakan apa yang di sekitarnya.

Ia menjalin benang sutra menjadi jala yang dapat dimanfaatkan menangguk apa yang di lautan. Segenap komponen keluarga, masyarakat dan bangsa berperan dalam menciptakan sinergi memajukan bangsa. (Sadono)

Kamis, 06 November 2008

PRIORITASKAN KEAMANAN DAN KESELAMATAN DI JALAN RAYA

Persoalan lalu lintas (lalin) di Jakarta bak benang kusut yang sulit diurai. Kemacetan, kecelakaan, dan kriminalitas di jalan raya merupakan santapan sehari-hari yang terus dihadapi masyarakat pengguna jalan. Ironisnya, pihak regulator maupun para operator jalan raya tak kunjung punya konsep jitu dalam menuntaskan persoalan lalin Ibu Kota yang makin kompleks ini.
Pada 2007 (dan tahun-tahun mendatang), tantangan yang dihadapi kotametropolitan masih berkutat pada masalah-masalah klasik seperti itu.Berbagai infrastruktur yang dibangun, seperti pembangunan koridor busway IV-VII dan underpass maupun fly over, serta penyediaan berbagai fasilitas oleh Pemprov DKI Jakarta, dinilai malah menambah persoalan lalin yang makin menumpuk.
Kendati pemerintah yakin proyek-proyek itu mampu mengatasi kemacetan lalin, masih banyak pihak yang menyangsikannya. Ini mengingat kebijakan tersebut tidak menyelesaikan persoalan mendasar. Sebagian kalangan malah berpendapat bahwa proyek-proyek yang menelan dana miliaran rupiah itu harus dihentikan.
"Kalau mau mengatasi kemacetan, hentikan pembangunan infrastruktur danbatasi jumlah kendaraan," kata pengamat transpotasi Darmaningtyas kepada Suara Karya baru-baru ini. Pernyataan yang terkesan ekstrim itu mengandung pesan bahwa pembangunan infrastruktur tidak menyelesaikan masalah.
"Bukankah kondisi seperti ini membuat masyarakat makin berlomba-lombamemiliki mobil pribadi? Penyediaan underpass dan fly over sama saja dengan memanjakan pemilik mobil," katanya menambahkan.
Seharusnya, kata Darmaningtyas, pemerintah lebih menitikberatkan padapenyediaan transpotasi massal dan regulasi kepemilikan kendaraan pribadi dalam rangka pembatasan jumlah kendaraan di jalan raya. Ini mengingat perbandingan jumlah kendaraan pribadi dan angkutan umum masih timpang.
Pemerintah juga harus bisa mengurangi izin bagi swasta yang hendak membangun fasilitas pembelanjaan, apartemen, atau tempat hiburan di tengah kota. Belajar dari pengalaman, penyediaan fasilitas umum seperti itu makin menambah kesemrawutan kota.
Keselamatan
Tak kalah penting dalam menyelesaikan persoalan lalin di Jakarta adalahperhatian pemerintah terhadap masalah keselamatan dan keamanan penumpang, termasuk masyarakat pengguna jalan. Dua aspek itu harus menjadi roh dalam setiap penyelenggaran dan pengaturan masalah transportasi.
Ini mengingat Jakarta-- yang tengah memproyeksikan menjadi kota megapolitan -- punya mobilitas masyarakat yang sangat tinggi. Kondisi masyarakat yang heterogen membuat model transpor apa saja ada di kota ini. Mulai dari sepeda, ojek, bajaj, angkot, bus umum, mobil pribadi, sampai kereta api. Akibatnya, banyak keluhan muncul yang kesemuanya berdampak pada faktor keamanan dan keselamatan masyarakat.
Menurut data di Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, selama tahun 2004 terjadi 4.544 kasus kecelakaan. Jumlah itu relatif tetap pada 2005, yakni 4.156 kasus. Pada tahun 2006 sebanyak 4.407 kasus atau naik 6,03 persen.
Kebanyakan kecelakaan didominasi oleh sepeda motor, yaitu sebanyak 2.078 kasus (2006). Bandingkan dengan minibus yang 944 kasus, truk 519, sedan 467 kasus, dan bus 192 kasus. Dari data ini bisa dilihat tingkat risiko tinggi pada pengguna sepeda motor.
Angka-angka di atas semakin memprihatinkan jika dilihat jumlah korbankecelakaan meninggal dunia. Pada 2004 tercatat korban tewas sebanyak 1.146 jiwa. Kemudian pada 2005 sebanyak 1.118 orang, dan tahun 2006 sebanyak 1.128 korban meninggal dalam kecelakaan. Jika diambil angka rata-rata, maka setiap bulan sedikitnya terdapat 99 nyawa melayang di jalan raya.
Data-data ini menunjukkan tingginya kasus kecelakaan di Jakarta. Tingkat risiko keselamatan yang tinggi harus cepat diantisipasi pemerintah maupun Polantas sebagai penegak hukum di jalan raya.
Risiko kecelakaan ternyata berimbas pada kehilangan nyawa. Artinya, tingkat fatalitas ini harus menjadi perhatian tersendiri. Bagi pengguna jalan, tingkat keamanan di jalan tersebut bukan hanya pada penggunaan jalan raya, tetapi juga risiko kriminalitas di jalan.
Berbagai kasus kejahatan di jalan menunjukkan bahwa ada risiko tinggi bagi para pengguna jalan raya di Jakarta karena kriminalitas di jalan raya bisa saja terjadi sewaktu-waktu.
Penegak Hukum
Di sini peran penegak hukum, yaitu Polantas dan Dinas Perhubungan,diperlukan dalam menindak operator transportasi ataupun pengendara/pengemudi kendaraan yang mengabaikan faktor keamanan dan keselamatan.
Sebuah survei menyebutkan, kecenderungan masyarakat melanggar lalindisebabkan ketidaktegasan petugas, kesadaran pengguna jalan masih rendah, kualitas jalan dan infrastruktur yang kurang memadai.
Selain itu juga penegakan hukum yang tidak konsisten, sanksi hukum yangringan, situasi psikologis, serta jumlah kendaraan yang terus berkembang yang tidak diimbangi dengan kualitas jalan.
Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol Joko Susilo mengatakan, pihaknya sangat memperhatikan masalah kesalamatan dan keamanan di jalan raya. Itulah kenapa pihaknya berupaya menciptakan disiplin lalu lintas masyarakat melalui berbagai kegiatan persuasif dan represif.
Ketentuan menggunakan lajur kiri dan menyalakan lampu pada siang hari, yang dikenakan untuk pengendara sepeda motor baru-baru ini, merupakan langkah antisipatif dalam menekan angka kecelakaan dan menciptakan disiplin berlalu lintas.
Gelar operasi lalin seperti Operasi Simpatik, Operasi Patuh, OperasiKetupat, Operasi Lilin, dan Operasi Zebra dimaksudkan untuk mendukungprogram tersebut. Pada 2007 dan tahun-tahun mendatang, kegiatan-kegiatan seperti itu akan semakin diintensifkan.
Selain tindakan represif, polisi juga berperan dalam mendesain masyarakat agar punya kesadaran bahwa keamanan dan keselamatan di jalan merupakan sebuah kebutuhan. Program-program seperti Patroli Keamanan Sekolah, Traffic Police Goes to School, Pramuka Saka Bhayangkara, Penerangan Keliling, Sekolah Mengemudi, Polisi Sahabat Anak, dan lain-lain, merupakan terobosan positif dalam rangka mewujudkan polisi masyarakat (polmas).
"Polmas merupakan program kita untuk mengajak masyarakat lebih berperanaktif dalam mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas. Itu karenanya akan digiatkan terus-menerus," kata Joko. (Sadono Priyo)

HARYONO: GERAKAN BANTUL BANGKIT PERLU DITIIRU


BANTUL-DONNEWS: Gerakan Bantul Bangkit hendaknya bisa ditiru masyarakat korban bencana alam lainnya di Indonesia. Gerakan ini menunjukkan adanya semangat untuk bangkit dan maju meskipun telah dilanda bencana alam gempa bumi yang sangat besar.
"Masyarakat Bantul begitu gigih untuk bangkit dan maju. Mereka tidak mau tenggelam dalam kesedihan yang berlarut-larut. Semangat ini sangat membanggakan kita semua," kata Ketua Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri), Haryono Suyono, saat menyerahkan bantuan kepada dua kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluar-ga Sejahtera (UPPKS) di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (15/11).
UPPKS yang menerima bantuan adalah UPPKS Aster dan UPPKS Duku, masing-masing mendapatkan bantuan uang sebesar Rp 20 juta, sebuah hand tracktor dan oven untuk membuat roti. Penyerahan bantuan dilakukan di Dukuh Derman Gersik RT 06, Kelurahan Sumber Mulyo, Kecamatan Bambang Lipuro, Bantul.
Penyerahan bantuan disaksikan langsung Kepala BKKBN Pusat Sugiri, Dirut Bank Pembangunan Daerah DI Yogyakarta Suharsoyo, Wakil Bupati Bantul H Suwarno, dan ibu-ibu anggota UPPKS.
Haryono Suyono menambahkan, semangat untuk bangkit yang dimiliki masyarakat inilah yang membuat Yayasan Damandiri tergerak untuk memberikan bantuan. Selain itu, masyarakat juga menyambut baik bantuan yang telah diberikan Da-mandiri, ini terbukti de-ngan banyaknya permintaan dari masyarakat.
Karena tingginya permintaan itu, lanjut Haryono Suyono, sejak tahun 2002 hingga saat ini Damandiri telah menyalurkan bantuan pinjaman lunak kepada masyarakat DI Yogyakarta sebanyak Rp 172 miliar dengan total masyarakat penerima bantuan sebanyak 11.500 orang.
"Bantuan selama ini kami titipkan melalui BPD DI Yogyakarta. Awalnya Rp 60 miliar, kemudian menjadi Rp 100 miliar, dan saat ini telah mencapai Rp 172 miliar," katanya.
Damandiri, lanjutnya, saat ini tengah merencanakan pemberian bantuan anak asuh bagi biaya pendidikan anak-anak berprestasi dari keluarga tidak mampu korban bencana gempa bumi di Bantul. Anak-anak berprestasi itu akan disekolahkan ke sekolah unggulan dengan biaya dari Damandiri.
Wakil Bupati Bantul, Suwarno, menambahkan, sejak terjadinya gempa bumi pada 26 Mei 2006 lalu itu, semangat masyarakat sempat turun drastis. Apalagi di Dukuh Derman Gersik ini korban meninggal mencapai 18 orang dan korban meninggal di Kecamatan Bambang Lipuro tercatat 80 orang dan puluhan rumah warga hancur. "Kerugian akibat gempa bumi yang dirasakan kecamatan ini termasuk paling parah. Kondisi ini sempat membuat masyarakat drop," katanya.
Yayasan Damandiri, menurutnya, memiliki program untuk menggerakkan dan mendorong keluarga korban gempa agar bisa kembali bangkit. Bahkan saat ini telah selesai dibangun 20 unit bantuan rumah dari 90 unit bangunan rumah layak huni yang tersebar di Bantul.
Ketua UPPKS Aster, Ny Susilah, mengungkapkan, bantuan ini sangat membantu perekonomian mereka. Karena ibu-ibu tidak terlalu menggantungkan dari penghasilan suami, namun mereka telah bisa mendapatkan hasil dari menyewakan hand tracktor dan pembuatan roti yang dikelola UPPKS. (Sadono Priyo)

RASA AMAN MASIH "BARANG MAHAL" BAGI WARGA DKI

Ketakutan dan selalu ada rasa khawatir pada diri warga Jakarta ternyata bukan isapan jempol belaka. Bagi sebagian besar warga Jakarta, keamanan masih menjadi barang mahal. Ini terbukti dengan masih tingginya tingkat kriminalitas yang dilaporkan masyarakat ke Polda Metro Jaya.
Kita bisa membayangkan betapa tidak amannya Ibu Kota ini. Lihat saja, dalam tempo 8 menit 6 detik di Jakarta selalu terjadi satu tindak kriminalitas.
Ungkapan ini mungkin bisa menjadi lain kalau yang mengungkapkan hanya seorang tukang bajaj atau sopir bus kota. Namun ini yang mengatakannya adalah orang pertama di Polda Metro Jaya, Irjen Pol Adang Firman. "Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2005 yang hanya mencapai 58.027 kejadian. Peningkatannya 5,3 persen," katanya.
Yang lebih mencengangkan, Kapolda Metro mengatakan bahwa kenaikan angka kejahatan itu dinilai masih dalam batas toleransi, karena berada di bawah angka 11 persen. Namun, yang dibutuhkan masyarakat sebenarnya bukan jumlah kenaikan angka kejahatan yang masih di bawah 11 persen, tetapi bagaimana warga Jakarta bisa menjalankan aktivitas di Ibu Kota dengan tenang.
Apalagi bagi warga kota yang setiap aktivitas kesehariannya harus menggunakan kendaraan bermotor, baik sepeda motor maupun mobil. Karena, ternyata kejahatan yang paling tinggi terjadi pada pencurian kendaraan bermotor (curanmor) 11.257 kasus.
Sepintar apapun masyarakat melengkapi kendaraan mereka dengan kunci ganda atau alarm, ternyata tetap saja bisa menjadi santapan empuk para "pemetik" kendaraan bermotor. Para pencoleng ini dengan entengnya mampu mengakali semuanya dan dalam tempo kurang dari lima menit pemilik kendaraan yang sedang naas akan kehilangan kendaraannya.
Peringkat kedua tindak kejahatan di Jakarta, diakui Kapolda, diduduki pencurian dengan pemberatan (curat), mencapai 8.100 kasus. Kasus ini memang agak susah-susah gampang dalam penanganannya, karena selalu saja polisi kalah cepat dibanding pelaku. Polisi hanya tinggal olah tempat kejadian perkara (TKP) setelah menerima laporan.
Sedangkan posisi ketiga direbut kejahatan narkoba yang mencapai 6.613 kasus "Untuk kejahatan narkoba, peningkatannya sangat tinggi dibandingkan dengan tahun 2005. Di tahun 2005 hanya terjadi 4.394 kasus. Ini berarti terjadi peningkatan sekitar 50,5 persen," kata Adang.
Kasus narkoba yang paling menyita perhatian publik adalah tewasnya penyanyi Alda Risma di kamar 432 Hotel Grand Menteng, Jakarta Timur, belum lama ini. Yang lebih menghebohkan, kasus ini bukan hanya ditangani polres, namun melibatkan hampir semua pihak. Mulai dari polsek hingga Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Mabes Polri, ikut disibukkan dengan tewasnya pelantun lagu "Aku Tak Biasa" itu.
Bukan cuma itu, untuk mengungkap siapa di balik aksi ini, FBI (Biro Investigasi Federal) dan badan narkotika negara tetangga ikut menelitinya. Keterlibatan FBI, diakui oleh Kepala Satuan Tugas BNN Brigjen Pol Hendardi Tanos, khusus untuk meneliti hasil rekaman CCTV hotel yang tidak terlalu jelas.
Ada catatan kasus menonjol pada tahun 2006 ini, di antaranya peledakan Restoran A&W di Kramat Jati Indah Plaza, Jaktim, pada 11 November lalu. Juga pembunuhan dengan mutilasi atas korban Sumini, yang terjadi pada 10 Agustus lalu di Jalan Perjuangan, Bekasi Utara.
Kasus perampokan terhadap mobil PT Trans Nasional di Taman Simanjuntak, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jaktim, pada 18 Januari. Juga pencurian dengan kekerasan terhadap uang ATM BCA sebesar Rp 2,9 miliar pada 9 Oktober.
"Kami juga mencatat adanya 24 kasus unjuk rasa anarkis dari 812 unjuk rasa. Yang paling menonjol adalah unjuk rasa di depan gedung DPR pada 3 Mei 2006 lalu.
Soal kasus Alda, memang semuanya masih dalam taraf penyidikan dan penyelidikan aparat kepolisian. Tetapi, setidaknya kasus ini adalah kasus yang benar-benar tidak biasa, meskipun Alda terkenal oleh lagunya yang berjudul "Aku Tak Biasa".
Tingginya angka kriminalitas di Jakarta, menurut Adang Firman, sedikit banyak ada kecenderungan naiknya partisipasi masyarakat. Warga Jakarta makin peduli terhadap keamanan. Karena itu, tak salah kalau orang nomor satu di jajaran Polda Metro Jaya ini menyampaikan penghargaan tertinggi kepada masyarakat.
Lebih lanjut Adang menambahkan, pihaknya terus bekerja sama dengan masyarakat untuk memberantas peredaran narkoba. "Sudah dibentuk pos-pos di wilayah yang rawan kejahatan narkoba agar masyarakat dapat melaporkan jika ada peredaran narkoba di daerah tersebut," katanya.
Selain itu, tingginya tingkat kejahatan di Jakarta tidak bisa selamanya dipersalahkan kepada Polda Metro Jaya. Banyak juga program kerja korp berbaju cokelat muda ini mampu membuat masyarakat tersenyum.
Sebagai contoh, sikap tegas aparat kepolisian dalam menangani lalu lintas. Meski jumlah kecelakaan lalu lintas mengalami peningkatan, pada tahun 2005 terjadi sebanyak 4.156 kasus, tapi pada tahun 2006 naik menjadi 4.407 kasus atau mengalami peningkatan 6,03 persen, toh jumlah korban tewas turun 0,89 persen dan jumlah korban luka berat turun 1,24 persen.
Kebijakan Kepala Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol Djoko Susilo, yang mulai menerapkan lajur kiri khusus untuk pengendara sepeda motor, diharapkan juga bisa mengurangi angka kecelakaan lalu lintas, terutama korban kecelakaan sepeda motor. Karena, dari 4.407 kasus kecelakaan lalu lintas, 3.000 di antaranya dialami sepeda motor.
Sikap tegas yang ditunjukkan Kapolda Metro Jaya dalam hal lalu lintas ini, diakui atau tidak, bisa mengurangi sepeda motor sebagai algojo yang menjadi pembunuh warga kota nomor pertama.
Ini mungkin bisa menggiring nama besar Polda Metro Jaya menjadi tidak populer di mata masyarakat. Apalagi keputusan ini berlawanan dengan keseharian yang selama ini dilakukan warga kota.
Warga kota selama ini dininabobokkan dengan enaknya mengendarai sepeda motor di jalur kanan. Padahal, apa yang dilakukan jelas sangat berisiko terhadap keselamatan jiwa mereka sendiri. (Sadono Priyo)

IBU NEGARA INGINKAN PENDIDIKAN LALULINTAS MASUK KURIKULUM


JAKARTA-DONNEWS: Banyaknya korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas merupakan cermin rendahnya kesadaran masyarakat dalam melaksanakan disiplin berlalu-lintas. Karena itu perlu sejak dini ditanamkan disiplin lalu lintas kepada anak-anak.
"Saya mengharapkan pendidikan lalu lintas bisa masuk dalam kurikulum pendidikan kita, agar anak-anak bisa belajar pentingnya pengetahuan dan disiplin lalu lintas," kata Ibu Negara Ani Yudhoyono pada peresmian Taman Lalu Lintas "Saka Bhayangkara" di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur, Selasa (24/4).
Hadir dalam acara tersebut Ny Mufidah Jusuf Kalla, para istri menteri Kabinet Indonesia Bersatu, Kapolri Jenderal Sutanto, Ketua Umum Bhayangkari Henny Sutanto, Kapolda Metro Jaya Irjen Adang Firman, dan sejumlah petinggi Polri.
Lebih lanjut Bu Ani (sapaan akrab Ibu Christiani Yudhoyono-Red) mengatakan, disiplin dan tertib lalu lintas merupakan cermin peradaban dalam upaya mencapai kemajuan. "Dengan menanamkan disiplin sejak dini, diharapkan anak-anak dapat memahami peraturan, bukan sekadar takut terhadap sanksi," katanya.
Disiplin, lanjut Ibu Negara, bukan hanya milik pihak militer karena disiplin adalah suatu sikap untuk taat pada peraturan yang telah disepakati bersama. Taman lalu lintas dinilai merupakan sarana yang efektif untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan peratutan berlalu-lintas, sekaligus sarana bermain bagi anak-anak.
Pada kesempatan itu Ibu Negara menekankan bahwa keselamatan berlalu-lintas merupakan tanggung jawab bersama.
Ketua Panitia Irjen Pol Fx Soenarno mengatakan, peresmian Taman Lalu Lintas "Saka Bhayangkara" merupakan investasi bagi masa depan, untuk menciptakan generasi mendatang yang lebih memahami disiplin dan tertib lalu lintas.
"Membangun disiplin perlu proses panjang sehingga sudah selayaknya dibangun sejak masa kanak-kanak," katanya. Dia menambahkan, tingginya tingkat pelanggaran lalu lintas, salah satunya diakibatkan oleh kurangnya pemahaman warga akan peraturan lalu lintas.
Miniatur
Taman seluas 5 hektare ini memiliki 21 jalan dengan memakai nama-nama pahlawan, seperti Jalan Kartini, Dewi Sartika, dan Soekarno-Hatta. Ada juga miniatur Monas, Gedung DPR, Istana Negara, dan rumah-rumah ibadah. Untuk pembelajaran tata tertib dan disiplin berlalu-lintas, anak-anak akan diajak mengenal rambu-rambu lalu lintas di seluruh lokasi taman lalu lintas dengan mengendarai mobil mini yang dikemudikan petugas. (Sadono Priyo)

MEMBANGUN KOMUNITAS UNTUK MEMERANGI MASALAH SAMPAH

Permasalahan sampah di Indonesia ibarat sebuah bom waktu. Seluruh tempat pembuangan akhir (TPA), baik di kota maupun di desa, sewaktu-waktu bisa meledak karena tak kuasa menampung kotoran yang kian hari terus menumpuk itu. Tragedi Leuwigajah pada 2005 yang menewaskan 147 orang, disusul kasus Bantar Gebang pada 2006 yang mengakibatkan 3 orang tewas, merupakan contoh bom waktu yang setiap saat bisa meledak di tiap TPA.
"Kalau diibaratkan penyakit kanker, masalah sampah di negeri kita sudah mencapai stadium lima. Sangat kronis! Sulit disembuhkan kalau tidak ada kesadaran masyarakat dan political will pemerinah," kata Ir Sri Bebassari MSi dari Pusat Pengembangan Riset Sampah Indonesia di sela-sela Workshop tentang Sampah yang diadakan Sameko di Sheraton Media, Jakarta Pusat, baru-baru ini.
Minimnya kesadaran masyarakat dan pemerintah karena belum ditinggalkannya paradigma lama, yaitu lebih suka membuang dan mengangkut sampah ke TPA. Meski cara open dumping ini tak lagi dibenarkan, faktanya kebanyakan masyarakat masih menyukainya. Atau, dengan kata lain, baik pemerintah maupun masyarakat, terkesan tidak mau repot.
Sejak UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah diundangkan, paradigma seperti itu harus dihilangkan. Sampah tidak lagi dibuang, tapi harus dikelola.
"Pemerintah wajib memfasilitasi masyarakat untuk mengelola sampah di wilayahnya masing-masing," kata Tri Bangun Laksana, Asisten Deputi pada Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang juga salah seorang penggagas UU No 18 Tahun 2008.
Konsekuensi terbitnya undang-undang ini adalah warga masyarakat wajib mengubah cara pandang mereka dari membuang sampah menjadi mengolah sampah. Pendekatan yang digunakan pun diubah, yaitu mengurangi sampah, menggunakan kembali, dan mendaur ulang atau dikenal dengan pola pendekatan 3R (reduce, reuse, dan recycle). Nama TPA sendiri masih dipakai, hanya saja kepanjangannya diubah menjadi "tempat pemrosesan akhir".
Meski demikian, konsep 3R sebenarnya sudah dikembangkan sejak lama, jauh sebelum UU itu lahir. Dua komunitas masyarakat ini-yaitu Rumah Perubahan dan Kembang Mawar-mungkin bisa dijadikan contoh bagaimana masyarakat setempat bisa mengelola sampah yang tidak hanya menghasilkan keuntungan, tapi juga bisa membuat daerah sampah menjadi daya tarik untuk dikunjungi.
Barang Berguna
Rumah Perubahan yang berlokasi di Jati Murni, Pondok Gede, Bekasi, merupakan komunitas yang diprakarsai Rhenald Kasali dan Hidayat. Kedua tokoh ini berjuang keras menyosialisasikan pengolahan sampah sehingga masyarakat di setempat sadar untuk memanfaatkan sampah menjadi barang berguna.
Rhenald yang juga pakar pemasaran dari Universitas Indonesia itu membangun komunitas dengan pendekatan menghidupkan ekonomi rakyat. Pakar marketing yang pernah menimba ilmu di negeri Paman Sam itu melihat masalah sampah di Jati Murni bisa membahayakan. Padahal, di negara maju sampah bisa menghasilkan uang. Itulah yang ingin ditiru.
Rhenald dan Hidayat pun sejak dua tahun lalu melakukan pendekatan kepada masyarakat. Awalnya ajakan keduanya dicurigai oleh masyarakat. Tapi berkat kerja keras, masyarakat percaya dengan iktikad baiknya. Istri Rhenald yang ketua posyandu makin mempercepat pengembangan Rumah Perubahan itu.
Masyarakat Jati Murni diajak untuk bersih lingkungan dengan menyediakan tong-tong sampah. Tujuannya hanya satu, sampah itu bisa dikumpulkan dengan mudah.
"Pengalaman memang tidak pernah ada di bangku sekolah. Kalau sampah diambil dari bak sampah yang terbuat dari semen, kita membutuhkan waktu enam menit per bak sampah. Di sinilah pengalaman membuktikan, kita hanya butuh lima menit untuk mengangkut sampah dari 10 tong sampah dari 10 rumah warga," kata Rhenald.
Dari sampah itulah pemilahan dilakukan dengan teknologi sederhana. Sebagian sampah organik dijadikan pupuk kompos, sebagian lagi dipadatkan dalam bentuk batangan kecil menjadi briket, mirip briket batu bara. Keuntungan pun bisa diraih warga karena briket ini lebih murah dibandingkan dengan minyak tanah. Ke depan, briket bisa dijual seharga Rp 5.000 per bungkus (isi 5 kilogram).
Sementara itu, sampah non-organik dikeringkan. Kemudian dipadatkan dalam ukuran tertentu untuk dijadikan biomassa. Lumayan juga, biomassa ini sudah memiliki pasar tersendiri, yaitu pabrik semen untuk bahan bakar. Permintaannya sudah mencapai 300 ton per bulan.
Tentu tidak semua orang mau memakai pupuk kompos. Karena itulah, pupuk kompos digunakan untuk menyuburkan tanaman hias dan sayur-mayur. Konsep pemasaran menjadi kebutuhan sehingga kelak perkampungan di Rumah Perubahan akan dilengkapi menjadi pasar hasil pertanian (farmer's market).
Kini konsep menghidupkan ekonomi rakyat Rhenald diperluas dengan menciptakan kawasan wisata alam. Di dekat tempat pemasaran sayur-mayur, lahan yang semula semak belukar disulap menjadi lahan wisata alam. Tren wisata alam terbuka berbentuk outbound menjadi salah satu yang dibidik kaum muda. Tempat di situ juga dilengkapi sarana olahraga untuk menguji adrenalin flying fox.
"Impian saya memang menjadikan tempat ini dimanfaatkan untuk wisata, seperti lintas alam, memancing, menanam padi, menangkap ikan," kata Rhenald, yang mengaku banyak anggota karang taruna membantu kegiatannya.
Ini tak berbeda jauh dengan komunitas Kembang Mawar atau Kebersamaan Membangun Masyarakat Warakas. Komunitas peduli lingkungan di Kelurahan Warakas itu bisa menyulap Warakas yang gersang menjadi ijo royo-royo. Kelurahan ini pun sering menyandang juara dan berulang kali memperoleh penghargaan.
Tak ada yang mengira Warakas yang dulu kumuh dan penduduknya padat itu kini menjadi daerah tujuan orang untuk belajar soal mengelola sampah. Penduduk yang padat menghasilkan sampah yang banyak pula. Itulah karenanya Kembang Mawar melatih warganya untuk memilah-milah sampah (organik, non-organik, dan limbah) dan menjadikannya barang berguna.
"Kepadatan penduduk bukan dijadikan alasan untuk sulit mengatur warga," kata Eko Suratmo (60), Ketua RW 11, penuh optimistis. Berkat tangan dinginnya, masing-masing RW di Warakas punya lokasi pengelolaan sampah lengkap dengan mesin pengelolaannya. Eko Suratmo pun dijuluki sebagai Bapak Sampah karena kepeduliannya terhadap masalah sampah. (Sadono Priyo)

Rabu, 05 November 2008

HATI-HATI, AKSI PEMBIUSAN KEMBALI MARAK


JAKARTA-DONNEWS: Modus kejahatan dengan menggunakan obat bius selalu mengancam pemudik. Pelaku kejahatan, baik perorangan maupun kelompok, mengincar pemudik dengan berupura-pura menawarkan minuman atau makanan.

Kalau tidak hati-hati, harta benda korban bisa raib. Bahkan tak jarang nyawa korban melayang karena begitu kerasnya dosis obat bius yang digunakan.

Sabtu pekan lalu, korban pembiusan menimpa Sugiharto. Pemudik yang menggunakan KA Kertajaya itu ditemukan dalam kondisi terhuyung-huyung di Stasiun Tawang, Semarang. Dia seperti orang linglung karena tidak dapat mengingat apa yang baru dialaminya.

Dalam pengaduan di Posko Mudik Stasiun Tawang, Sugiharto menceritakan awalnya ia hendak pulang mudik dari Jakarta tujuan Surabaya. Ia ditawari makanan oleh orang yang baru dikenalnya di atas kereta. Setelah itu ia tak ingat lagi yang dia alami. Tahu-tahu ia diturunkan di Semarang, dengan seluruh uang dan oleh-oleh mudik raib dibawa kabur pelaku.

Nasib serupa dialami Dedi (25). Warga Bekasi, Jawa Barat, itu ditemukan pingsan di sebuah bus di Terminal Merak, Cilegon, Banten. Saat itu Dedi hendak mudik ke Palembang, Sumatera Selatan. Diduga pemuda berusia 25 tahun itu juga menjadi korban pembiusan.

Dedi akhirnya dibawa ke sebuah klinik tak jauh dari terminal. Hampir empat jam ia tidak juga sadarkan diri. Menurut Hasan Basri, kondektur bus yang menemukan korban, tas dan barang bawaan Dedi masih utuh. Namun, tak sepeser pun uang tersisa di dompet dan saku celananya.

Kasus serupa juga menimpa Hasanudin. Sopir kendaraan sewaan itu awalnya hendak mengantarkan dua pria yang menyewa kendaraannya untuk mudik ke Serang, Banten. Dalam perjalanan dia dibius dan baru sadarkan diri setelah ditemukan di emperan toko dengan hanya mengenakan celana dalam. Ternyata, dua penumpang gadungan itu melucuti seluruh barang bawaan Hasanudin dan membawa kabur mobilnya. Kasusnya kini ditangani Polsek Bekasi Timur.


Korban Tewas


Kasus pembiusan bahkan pernah merenggut korban jiwa. Korbannya seorang lelaki tanpa identitas berusia sekitar 50 tahun. Korban akhirnya meninggal dunia beberapa saat setelah dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bekasi.


Petugas RSUD Bekasi, Abdul Rohim, di Bekasi, Selasa, mengatakan, menurut petugas medis rumah sakit tersebut, korban diduga dibius dalam angkutan umum. Setelah tak sadarkan diri, laki-laki itu dilempar ke tanah kosong di Jalan A Yani tak jauh dari SPBU.


Korban ditemukan oleh tukang ojek yang tidak mau disebutkan namanya sekitar pukul 02.30 WIB, kemudian melapor ke Bripka Agus dari Polsek Bekasi Barat dan selanjutnya dibawa ke RSUD Bekasi.


Setibanya di rumah sakit tersebut, korban pembiusan sempat dirawat di Unit Gawat Darurat (UGD), tetapi akhirnya mengembuskan napas terakhir.


Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Zulkarnaen mengatakan, polisi sering menangani kasus pembiusan dan sudah banyak yang ditangkap. Pelaku biasanya mengincar penumpang angkutan umum yang sendirian. "Modusnya, calon korban diajak mengobrol. Bahkan tak jarang pelaku membantu menaikkan barang penumpang ke mobil atau menolong yang lain," katanya.


Ia mengingatkan, agar tidak menjadi korban pembiusan, penumpang angkutan umum diminta untuk tidak lengah. Penumpang juga agar tidak membawa barang berharga secara berlebihan. "Kalau ada yang menawarkan makanan atau mimuman, sebaiknya ditolak," kata Zulkarnaen.


Ia menegaskan polisi akan memburu pelaku pembiusan dan menindak sesuai dengan ketentuan hukum. (don)

CALEG HARUS WASPADAI AKSI KRIMINAL

PARA calon anggota legislatif (caleg) tampaknya harus waspada terhadap gangguan keamanan yang bisa menimpa mereka. Calon wakil rakyat yang akan bersaing pada Pemilu 2009 belakangan rawan aksi kriminal, seperti pencurian dokumen.
Setidaknya, dua caleg telah mengalami gangguan tindakan kejahatan. Diduga, ada yang tidak puas dengan pencalegan yang disusun pengurus partai. Polisi diminta mengusut sejumlah kasus tindak kejahatan itu.
Kasus pencurian dokumen daftar calon anggota legislatif menimpa Eko Kunthadi. Mobil Toyota Vios B 1725 JP milik caleg DPRD DKI asal Partai Bintang Reformasi (PBR) itu dibobol maling pada Selasa (19/8) pekan lalu pukul 15.00 WIB, di Jalan Tebet Timur VII E, Jakarta Selatan.
Pelaku memecah kaca belakang samping mobil korban dan mengambil tas berisi surat-surat penting. Surat yang dimaksud, kata Eko, merupakan dokumen-dokumen pencalegan. Modus operandinya, setelah memecah kaca belakang, pelaku mengambil tas yang berisi dokumen pencalegan tersebut.
Eko menduga pencuri sudah memahami kondisi mobil, mengingat sewaktu kaca dipecah sirene tidak berbunyi. "Pencurinya tahu kalau yang dihantam bodi, sirene akan bunyi. Tapi kalau kaca, tidak," kata Qodri, sopir korban.
Lokasi pencurian di halaman rumah Eko Kunthadi sendiri. Saat itu ia bermaksud mengambil barang yang tertinggal di rumah. Kasusnya kini ditangani Polsek Tebet.
Kasus serupa menimpa mobil salah satu caleg DPD Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang diparkir di halaman Gedung DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, pekan lalu. Pencuri menggasak laptop yang berisi data-data penting, termasuk data pencalegan DPD PKS DKI Jakarta.
Kasus pencurian lainnya terjadi di halaman parkir kantor DPP Partai Demokrat, Jalan Pemuda, Jakarta Timur, Rabu (19/8) lalu.
Tapi, kali ini nasib nahas dialami oleh kru wartawan Metro TV yang tengah mengadakan wawancara dengan pengurus Partai Demokrat. Rabu (19/8) lalu sekitar pukul 21.50, Erika dan juru kamera Suryadi tengah mengadakan wawancara dengan M Jafar, Ketua Tim Penyaringan Caleg Partai Demokrat, di kantor DPP Jalan Pemuda, Jaktim.
Saat kembali, ketiganya kaget melihat kaca kanan bagian belakang Isuzu Panther putih B 8612 KW pecah. Telepon genggam dan dompet berisi kartu identitas, ATM, dan uang ratusan ribu raib digasak pencuri.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ketut Untung Yoga Ana mengatakan, pihaknya belum menerima laporan mendetail ihwal kasus pencurian maupun tindak kejahatan yang dialami caleg atau orang yang terkait dengan caleg itu. "Kita belum melihat korelasinya. Bisa saja kasusnya karena murni kriminal," katanya menanggapi tindak kejahatan yang dialami caleg.
Di tempat terpisah, Kasat Jatanras Polda AKBP Fadhil Imran mengatakan, jajarannya aktif melakukan razia kejahatan dalam menyongsong bulan Ramadhan. Sedikitnya 28 orang diringkus dalam 10 hari terakhir. "Kebanyakan memang terlibat kasus pencurian, seperti pencurian mobil, rumah kosong, dan street crime," katanya. (don)

PURA-PURA KIRIM PARCEL, GASAK RP 5 MILIAR

SURABAYA-DONNEWS: Perampokan dengan modus berpura-pura mengirim parsel kembali terjadi di Surabaya, Minggu (17/8), dengan korban seorang pengusaha swalayan di Jalan Embong Gayam 5.

Pengusaha yang menjadi korban perampokan itu, Hari Pratikno, kepada polisi mengaku menderita kerugian sekitar Rp 5 miliar, berupa perhiasan permata dan uang dolar AS.

Menurut Hari, kawanan perampok berjumlah empat orang. Aksi mereka diawali dengan sikap berpura-pura sebagai pengantar bingkisan (parsel) dari teman korban.

Menurut laporan Antara, setelah diterima pemilik rumah dan dipersilakan masuk ke dalam rumah, kawanan perampok tiba-tiba menyekap para penghuni yang tak berdaya karena tidak menyangka akan menghadapi peristiwa itu.
Penghuni rumah sebanyak tujuh orang, termasuk Hari Pratikno, terlihat shock ketika satu di antara pelaku itu menodongkan pistol jenis revolver sambil meminta para penghuni menuruti kemauan perampok. Hari dan keluarganya sama sekali tidak berani memberikan perlawanan. Mereka pasrah saat para penjahat itu menguras harta benda di rumah tersebut.
Seusai menjarah barang-barang berharga milik korban, para pelaku cepat-cepat meninggalkan rumah dengan mengendarai mobil Suzuki APV.
Modus yang sama pernah terjadi dan dialami keluarga almarhum Prasetyo, mantan Ketua Pengurus Persatuan Olahraga Tenis (Pelti) Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
Ketika itu, keluarga Prasetyo di Jalan Manyar Kertoarjo, Surabaya, sedang menunggu jenazah Prasetyo yang meninggal di Australia. Bukannya jasad korban yang tiba, melainkan kawanan perampok dengan dalih mengantarkan karangan bunga.
Para perampok tidak peduli dengan suasana dukacita yang sedang menimpa keluarga korban. Mereka menggasak semua harta benda yang bisa dikuras. (don)

JANDA DITIPU PARANORMAL


JAKARTA-DONNEWS: Praktik penipuan berkedok paranormal menimpa Eka Setyowati. Korban yang sehari-hari sebagai pengusaha bengkel mobil ini terpaksa merelakan uangnya sebesar Rp 21 miliar ditilap pelaku. Kasusnya kini ditangani Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
Peristiwanya bermula pada awal 2003, ketika korban dikenalkan oleh temannya dengan seorang wanita bernama Juriah yang mengaku sebagai paranormal. "Saat itu dia (tersangka) memberi saTa kartu nama," kata Eka di Polda Metro Jaya, Rabu (8/10) siang.
Sekitar enam bulan kemudian Eka memutuskan untuk menghubungi Juriah dengan maksud meminta pertolongan untuk menyelesaikan masalah di bengkel mobilnya. "Saya telepon dia, kemudian dia datang ke bengkel saya di kawasan Bintaro," ujarnya.
Mendengar keluhan korban, tersangka menyatakan sanggup untuk menyelesaikannya. Dengan syarat, korban harus mengikuti saran-sarannya. "Saya harus diruwat dan melakukan ritus antara lain di Pelabuhan Ratu," kata Eka.
Tak hanya itu, korban juga diwajibkan membeli minyak yang harganya Rp 110 juta, agar apa yang diinginkannya terkabulkan. "Saya membeli minyak itu tidak hanya sekali," ucapnya menambahkan.
Agar korban tidak curiga, tersangka mengiming-imingi bahwa uang yang sudah dikeluarkan akan kembali dalam jumlah yang lebih besar. "Dia mengaku punya harta karun," katanya lagi.
Meski uang korban sudah habis untuk membiayai kebutuhan ritus, tersangka yang berdomisili di Jalan Nurul Fajri, RT 003/ RW 03 Kelurahan Pondok Kacang, Pondok Aren, Tangerang, tidak puas. Korban dipaksa untuk mencari pinjaman uang, baik kepada suami maupun anaknya atau kepada orang lain.
Namun, Karena tak ingin gagal, korban menurutinya sehingga bengkel, rumah, dan mobilnya dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman. "Saya pikir uangnya nanti akan kembali," katanya.
Karena tidak mampu membayar, akhirnya harta benda korban disita dan terpaksa angkat kaki dari rumahnya di kawasan Bintaro. Selanjutnya ia mengontrak di Kompleks Delatinos, Blok D I No 11, Kompleks BSD, Tangerang.
Setelah lama menanti, tetapi ternyata hasil yang dijanjikan tak kunjung terealisasi, korban mulai curiga. Kekhawatirannya itu bertambah kuat begitu mendengar penuturan Roby, kekasih gelap tersangka. "Roby bilang, apa yang dilakukan kekasihnya itu bohong," ujarnya.
Masalah yang dihadapinya bertambah pelik ketika pada akhir 2007 suaminya, Chris, menyodorkan surat kepada dirinya yang isinya mengancam akan menceraikannya jika sampai batas yang ditentukan uangnya tidak dikembalikan oleh Juriah. "Sekarang saya menjanda," katanya dengan nada lemas.
Akhirnya pada Sabtu (6/9) malam, Eka mendatangi Polda Metro Jaya untuk melaporkan tersangka. Kasus ini terdaftar dengan nomor LP/2269/ K/IX/2008/SPK Unit III. (don)